Alena memandangi layar ponselnya sejenak. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya, meskipun ia tak tahu kenapa. Pesan singkat dari Agatha terasa begitu ringan, namun entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda. Mungkin karena obrolan ini begitu alami, tanpa pretensi, tanpa beban.Â
"Ada foto yang dikirim sama ayah kamu?" tanya Alena, mencoba membuka percakapan lebih lanjut.
Alena teringat saat ia bertemu dengan orangtua Agatha di sebuah acara beberapa waktu lalu. Meskipun pertemuan itu singkat, orangtua Agatha sempat berkata bahwa mereka akan mengirimkan foto yang diambil bersama Alena ke Agatha. Mereka bahkan sering menyebut-nyebut nama Alena bersama Agahta, meskipun Alena merasa canggung, karena ia sendiri belum terlalu mengenal Agatha. Mereka memang satu kota, tetapi Alena tidak begitu tahu tentang Agatha.
Agatha membalas dengan cepat, "Oh, foto waktu acara kemarin ya? Ayah belum mengiriminya. Ayah sering banget cerita soal kamu."
Alena tersenyum kecil membaca pesan itu. Meskipun ia merasa sedikit kikuk dengan segala pembicaraan tentang dirinya yang datang dari orangtua Agatha, ia memilih untuk tetap santai. Mereka memang satu kota, tapi mereka baru saling kenal sedikit. Namun, entah kenapa, obrolan ini mulai terasa tidak sepenuhnya biasa saja.
Agatha melanjutkan obrolan "semoga nggak ganggu ya, orangtuaku memang suka mengangguku, ia sering sekali menceritakan tentangmu, ia bilang kamu cantik dan kalo cari pacar harus seperti kamu, wkwk"Â
Alena terkikik ringan, mencoba tidak terlalu terbawa suasana, tapi didalam hatinya, ada rasa hangat yang muncul. Pujian yang datang dari orangtua Agatha membuatnya merasa dihargai, meskipun ia tahu ini baru awal dari segala hal yang tak terduga. Rasanya, ada sesuatu yang tidak biasa dalam obrolan ini sesuatu yang membuatnya merasa lebih diperhatikan daripada yang ia duga sebelumnya. Ia bukan tipe orang yang mudah merasa canggung atau terkesan dengan pujian, tetapi kata-kata itu, yang datang dari orang yang tak terlalu dikenalnya, sedikit membuat hatinya berdebar. Meski ia berusaha untuk tetap santai dan tidak terlalu memikirkannya, ada semacam benih ketertarikan yang mulai tumbuh, meski Alena belum benar-benar bisa mengidentifikasinya. Ia tahu ini mungkin baru permulaan, dan masih terlalu dini untuk menilai apapun, tapi kata-kata orangtua Agatha yang terus mengisi pembicaraan mereka memberi kesan yang tak bisa diabaikan begitu saja.
Setelah obrolan panjang tiba-tiba Agatha mengirim pesan "btw, boleh minta kontak WhatsApp nya?"
Alena tak berpikir panjang. Setelah membaca pesan Agatha, dia langsung membalas dengan santai, "Iya, ini nomor WhatsApp aku."Â Alena mengirimkan nomornya tanpa ada keraguan sedikit pun. Bagi Alena, ini bukanlah sesuatu yang besar. Ia hanya menganggap Agatha sebagai teman yang bisa ia ajak ngobrol ketika ada hal-hal seputar kuliah yang perlu dibicarakan.
Dia tidak berpikir lebih jauh mengenai pesan-pesan yang datang. Tidak ada niatan untuk memperumit sesuatu yang terkesan sederhana. Baginya, obrolan ini masih sebatas saling mengenal sama seperti halnya ia berinteraksi dengan teman-teman lainnya. Alena tahu bahwa sebagai sesama mahasiswa yang satu kampus, mereka pasti akan sering berinteraksi. Jadi, memberikan nomor whatsapp adalah hal yang wajar untuk mempermudah komunikasi jika suatu saat dibutuhkan.
Tak lama setelah Alena mengirimkan nomor, ponselnya bergetar. Pesan masuk dari WhatsApp, dan Alena melihat nama "Agatha"Â muncul di layar.