Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ikatan Hati

8 April 2020   20:40 Diperbarui: 8 April 2020   20:44 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangankan dirawat, untuk melakukan pemeriksaan lanjutan saja, beliau menolak keras. Lebih menyuruh Loupan menebus obat-obatan untuk konsumsi sehari-hari. 

Operasi itu pun tidak dilakukan. Keluarga besar tidak menyetujui dikarenakan usia beliau yang sudah renta. Mereka takut semuanya berbalik fatal dan beliau tak terbangun lagi pasca operasi. Yang mereka bisa lakukan hanya pasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

 Di kamis siang pukul 14.00 pm, pihak rumah sakit memberitahu bahwa kondisi Nenek Lin sudah membaik. Beliau akan dipindahkan ke ruangan umum.

 Aku merasa lega sekali. Siang itu, pertama kalinya aku merasakan suasana kamar rumah sakit untuk menjaga beliau. Tetapi, ada yang aneh aku lihat. Beliau berbicara ngelantur. 

Marah-marah tak jelas kepada siapa, aku tak tahu. Air kecil dan air besar beliau selama di ICU hingga hari itu tak keluar. Sama sekali belum keluar. Hal itulah yang menyebabkan tangan dan perut beliau membesar berisi cairan. 

Jantung yang tak berfungsi dengan normal menyebabkan seluruh organ dalam tubuh beliau mati. Lantas, kenapa beliau harus keluar dari ruang ICU? Apakah detak jantung yang mulai normal menjadi jaminan beliau kelaur dari ruangan mengerikan itu?

Malam pertamaku merawat beliau kurasa sangat luar biasa. Entah, walau aku tak terlelap semalaman dengan tempat tidur yang kurang nyaman, tetapi aku merasa rasa rinduku kepada beliau cukup terbayar. 

Di malam itu beliau berbicara sendiri tiada henti. Bahkan beliau sudah tak mengenal siapa pun, termasuk aku. Ya, namaku yang selama di ICU masih sering beliau sebut dalam rasa sakitnya, malam itu tak terucap lagi. Beliau yang dulu sering memarahiku dengan lantang kini tak lagi mengenalku. 

Aku sama seperti anak menantu beliau yang lain. Orang asing yang tak lagi beliau kenali. Setiap kali mereka menjenguk, hanya mampu menatap tubuh ibu mereka yang terbaring lemah dengan mata terpejam dan mulut berbicara ngelantur. Dan suasana pilu itu hanya berlangsung tiga hari saja di sana.

Aku mencium kening beliau untuk yang terakhir kalinya dengan lelehan airmata. Kemudian mengabari Loupan dan Loupan Niyang dengan isak dan dada teramat sesak. Loupan terlihat tegar sedang suara Loupan Niyang menghilang beberapa detik setelah aku menyampaikan kabar duka itu. 

Pedih? Sakit? Jangan ditanya. Aku masih sangat ingat, hari pertama kami ke rumah Nenek Lin saat beliau masuk ICU, Loupan Niyang menghentikan mobilnya di tengah jalan kemudian menangis tersedu-sedu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun