Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Yusuf Akhir Zaman

31 Maret 2020   19:29 Diperbarui: 31 Maret 2020   19:33 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kutatap dia dengan spontan. Dia tersenyum lembut sekali. Wajahnya penuh dengan keteduhan. Sorot matanya memancarkan binar ketulusan. Kami duduk berdekatan namun tidak bersebelahan. 

Sisa waktu transit yang tinggal beberapa menit kami gunakan sekedar untuk melempar senyum. Aku bingung. Bagaimana tidak? Sejak detik pertama dia menyapaku, dia selalu tersenyum padaku. Aku seperti kucing yang tercyduk saat hendak mencuri ikan goreng di warteg. Mati kutu. Sungguh perasaan yang aneh sekali.

"Indramayu macet terus, ya?"

"Eh, iya. Iya, Mas. Namanya juga jalan pantura, pasti macet." 

Setelah lama saling diam, akhirnya dia memulai percakapan. Aku merasa mudah akrab dengannya. Rasa canggung atau grogi pun hilang begitu saja. Aku cukup terkejut mengetahui bahwa dia seorang guru. Guru Fisika, tepatnya. 

Mungkin itu alasan kenapa dia terlihat berwibawa sekali di mataku. Kalimat-perkalimat yang dia ucapkan tidak ada yang mubazir. Semuanya berbobot penuh makna tanpa mengurangi nilai-nilai kesopanan yang ia terapkan. Subhanallaah.. 

Malam itu kami berdiri di bawah mendungnya langit Cimahi. Seharian itu kami habiskan masih untuk mengelilingi Kota Bandung. Di alun-alun Bandung kami tertawa bersama. Bahkan dia sempat memperagakan gerakan silat yang dia kuasai. 

Waktu-waktu sholat kami lahap di berbagai masjid yang kami jumpai. Saat itu adalah kali pertama aku memasuki rumah Allah Swt bersama teman lelakiku. Yang mana aku dapat melihat sujud-sujud indahnya dari kejauhan. Adakah yang tahu, apa yang aku rasakan? 

Hatiku menangis! Bahkan itu adalah saat terindah yang pernah kulewati bersama teman lelakiku. Dimana dia setia duduk di luar masjid untuk menungguku. 

Sangat persis seperti kesetiaan Ammar kepada Almira dalam novel baruku yang terbit tahun ini. Ah, bukankah itu hanya sebuah novel fiksi? Ya, tapi novel itu terinspirasi dari sosok lelaki yang pernah bahkan masih hidup di dalam hatiku.

"Aku ingin meminta sesuatu kepadamu. Apa kamu mau melakukannya? Bukan untukku, tapi untuk dirimu dan Allah Swt." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun