Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Cinta dari Surga (Bab 2, Part 2)

2 Desember 2019   18:32 Diperbarui: 2 Desember 2019   18:38 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Cukup Aziz. Kita akan bicarakan ini di jam istirahat nanti. Bukankah kita sudah sepakat sebelumnya? Sekarang waktunya kita belajar. Kita sudah menyia-nyiakan waktu cukup lama."

Kebijaksanaan Ammar membuat Aziz terdiam. Mereka pun memulai pelajaran pagi ini seperti biasanya, hingga jam istirahat berdering. Ammar keluar lebih dulu dari kelas itu dan kembali ke ruang guru. Ia keluar lagi untuk menunaikan shalat Dhuha di masjid sekolah. Di dalam sujud ia tumpahkan segala gelisah hati yang menyelimutinya sejak pagi tadi. Ucapan Mbah Okim dan Mbak Mun mulai menari-nari kembali di pikirannya. Ammar merasa kecewa. Secepat itukah mereka lupa akan sosok Alea yang begitu istimewa di hatinya? Di dalam hidupnya. Bahkan di dalam detak nadinya. Jangankan untuk mencari pengganti Alea, untuk melupakan walau satu hari saja Ammar tidak mampu. Setiap kesenggangan waktu yang ia miliki pasti habis oleh kenangan Alea. Setiap jam istirahat di sekolah pun pasti terlewatkan oleh bayang-bayang Alea. Apalagi di sujud-sujud terindahnya kepada Tuhan Semesta Alam.

Ammar meninggalkan area masjid dan kembali ke kelasnya. Ia menepati janjinya terhadap Aziz. Di depan pintu langkah Ammar terhenti. Ia menatap heran bocah berambut cepak itu yang sedang duduk sendiri di bangkunya. Ammar tahu betul siapa muridnya itu. Ia merupakan salah satu murid yang sangat humoris dan selalu menjadi ladang tawa bagi teman-teman sekelasnya. Akan tetapi, mengapa hari ini ia lebih banyak murung? Apakah hanya karena surat dari Rossi untuk dirinya? Atau memang Aziz memiliki masalah pribadi di rumahnya? Ammar menarik napas panjang lalu mendekati Aziz dengan tenang.

"Kenapa Aziz? Apa yang membuat kamu murung sejak tadi?"

"Kenapa Bapak tidak mau menerima surat ini? Jika Bu Rossi tahu, beliau akan sakit hati pada Bapak." Aziz mengangkat surat merah jambu yang ia pegang.

Ammar tersenyum kecil. "Itu masalah Bapak dengannya. Kamu masih kecil, tidak seharusnya ikut memikirkan masalah kami, Ziz."

"Tapi Bu Rossi sangat mencintai Bapak. Apa Bapak tahu, beliau sering berdebat dengan orangtuanya karena selalu menolak untuk menikah. Bu Rossi tidak mau menikah dengan siapa pun selain dengan Bapak. Saya sering mendengar perdebatan itu dengan sangat jelas. Karena saya tetangga yang paling dekat dengan rumah beliau, Pak Ammar!"

Ammar terkejut mendengar penuturan muridnya. Sebesar itukah cinta Rossi kepadanya? Sebaik apakah dirinya hingga Rossi mempertahankan rasa cinta untuknya? Dan kenapa harus dirinya, bukan lelaki lain?

Ammar meninggalkan ruang kelas itu dengan hati bertanya-tanya. Ia melewati pintu. Namun, langkahnya terhenti melihat Rossi sudah berdiri di sana. Tatapan wanita ayu itu sangat dalam seakan ia telah mendengar semua pembicaraan Ammar dan Aziz barusan. Ammar mematung di depannya. Tiba-tiba Aziz berdiri ditengah-tengah mereka dan menyerahkan surat cinta itu ke tangan Rossi. Kemudian pergi meninggalkan mereka tanpa sepatah kata lagi.

"Aku ingin bicara denganmu Ammar." ujar Rossi, serius.

"Tidak sekarang Ross, dan tidak di sini. Aku tidak mau ada fitnah diantara kita."

"Fitnah? Apa yang kita lakukan sehingga orang lain akan mengeluarkan fitnah terhadap kita, Ammar?"

"Ini sekolah Ross, bukan tempat untuk membahas masalah pribadi. Mengertilah."

"Baik. Aku tunggu jam pulang sekolah nanti di rumahmu."

"Tidak Ross. Aku tidak pulang ke rumahku hari ini. Tapi..."

"Tapi apa Ammar? Alasan apalagi yang kau buat untuk menjauhiku? Apa kau takut padaku?"

"Apa yang harus aku takutkan darimu?"

"Kau takut hatimu akan berpaling dari Alea, iya 'kan, Ammar?"

Mendengar nama Alea, Ammar tersentak bukan main. Ia tak menyangka bahwa Rossi mengetahui hal besar yang ia sembunyikan selama ini.

"Darimana kau tahu tentang Alea?"

"Aku tahu semuanya Ammar. Aku tahu bahwa kau sudah menikahi Alea cukup lama. Satu hal yang membuat aku tak bisa berhenti mengharapkanmu karena kesetiaan yang begitu hidup dari hatimu untuknya. Aku cemburu padanya, Ammar. Apa kau belum melihatnya sendiri dari mataku?"

"Ross, aku mohon jangan bahas masalah ini di sini. Aku tidak mau kita menjadi pusat perhatian satu sekolah karenanya. Dan satu lagi, jangan pernah menungguku karena aku tidak akan pernah membuka hatiku untuk siapa pun. Sekarang kau tahu betapa aku sangat mencintai istriku melebihi apa pun di dunia ini, bahkan nyawaku sekali pun. Kau yang seharusnya membuka hatimu untuk laki-laki lain yang mencintaimu. Jangan kau buang waktumu untuk mengharapkan lelaki yang tidak mencintaimu, Rossi. Jika mencintaimu saja tidak, bagaimana ia bisa membahagiakanmu? Maafkan aku Rossi, aku harus pergi sekarang."

"Setidaknya walau kau tidak mencintaiku tapi kau tidak akan berani untuk menyakitiku, Ammar. Agama yang hidup di hatimu akan membuatmu berlaku adil terhadap perempuan. Seperti kau mencintai Alea hingga detik ini, seperti aku mencintaimu juga sampai sekarang. Alea sudah tiada, Ammar. Sedangkan kau masih terlihat oleh kedua mataku setiap hari. Bagaimana bisa kau meminta agar aku membuka hatiku untuk orang lain?"

Airmata Rossi meleleh di depan Ammar. Ammar melihat molekul bening itu jatuh ke pipinya yang putih. Molekul-molekul itu laksana Untaian Cinta seorang Rossiyana untuknya. Entah kenapa hatinya merasa tersentuh. Ia paling tidak bisa melihat wanita menangis di depannya. Ammar mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, seketika ia berbalik dan memutuskan untuk meninggalkan Rossi di sana. Rossi masih berdiri di depan kelas itu. Memandang kepergian Ammar dengan hati yang tersayat. Meratapi dewi fortuna yang belum memihak kepadanya. Menyapu airmata yang membasahi pipi dengan telapak tangannya. Lalu pergi berlawanan arah dengan lelaki yang sangat dicintainya.

Di tengah koridor sekolah, Ammar menghentikan langkahnya. Ia merasa bingung dengan situasi yang seakan menghimpit ketenangannya. Wajah Rossi dengan lelehan airmatanya kembali terbayang dalam pikirannya. Tiba-tiba ia merasa bersalah. Tak ia pungkiri kesetiaan Rossi dalam mencintai dan menunggunya jauh lebih lama dari perkenalannya dengan Alea selama ini. Bahkan ia sendiri tak percaya, bahwa Rossi sering berdebat dengan orangtuanya karena mempertahankan rasa cinta untuk dirinya. Hal itu membuat dadanya terasa sesak. Ia merasa posisi Rossi sebanding dengan posisinya saat ini. Sama-sama melawan orangtua demi orang yang mereka cintai. Di mana Ammar sendiri masih menyembunyikan pernikahannya dengan Alea dari ayah kandung yang telah bahagia dengan keluarga barunya.

Ammar memejamkan kedua matanya. Menelan pil pahit yang dirasakannya saat ini. Tubuhnya yang tinggi bersandar pada sebuah dinding sekolah. Namun, hatinya yang rapuh masih mengapung di tengah dalamnya samudera kehidupan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun