Mohon tunggu...
Iik Nurulpaik
Iik Nurulpaik Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Akademisi, Pemerhati Pembangunan Bangsa

Edukasi jalan literasi peradaban

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kisah Sekolah Dasar Kami

6 Desember 2022   00:30 Diperbarui: 6 Desember 2022   07:47 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekolah tempat kami dulu bersekolah menurut saya termasuk sekolah yang baik. Setidaknya menurut apresiasi masyarakat di kampung kami saat itu. Sekolah kami adalah sekolah yang berprestasi karena memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan sekolah lainya sehingga diapresiasi dengan baik oleh masyarakt setempat.

Misalnya sekolah kami seringkali mewakili kecamatan untuk tampil dalam beberapa mata lomba ditingkat kabupaten, seperti bidang kesenian, keterampilan, olah raga, maupun lomba bidang studi. Pakaian siswanya bersih-bersih dan rapih-rapih, walaupun bukan terbuat dari bahan yang mahal. Yang memakai sepatu ataupun dengan yang tidak sama-sama bersemangat.

Sekolah kami bukan sekolah unggulan seperti kebanyakan sekarang yang banyak didirikan "asal beda" saja. Sekolah sekarang banyak yang dikatakan unggulan, karena gedungnya yang mentereng atau karena bayaran sekolahnya yang mahal. Sekolah kami bukan sekolah favorite karena tidak ada artis terkenal yang bersekolah di sana. Sekolah kami merupakan sekolah biasa yang tidak dibangun secara sengaja sebagai sekolah yang sejak awal dicap sendiri oleh yang membuatnya sebagai sekolah unggulan, seperti yang sering terjadi sekarang.

Keunggulan sekolah kami karena proses alamiah yang tumbuh dan berkembang secara konsisten karena mendapat dukungan dari kepala sekolah, guru-guru, orang tua siswa, tokoh masyarakat dan masyarakat sekitar. Hubungan pihak sekolah dengan masyarakat juga berlangsung baik. Guru-gurunya bergaul ditengah masyarakat, sehingga masyarakat mengenalnya sebagai warganya.

Seringkali berbagai urusan sekolah dapat dikomunikasikan melalui pergaulan sehari-hari. Bahkan sering pula para orang tua datang kerumah guru diluar jam sekolah untuk menanyakan hal ikhwal yang berkenaan dengan sekolah anaknya. Sebaliknya guru-guru kami datang kerumah dengan memanfaatkan pergaulan sehari-hari untuk menanyakan kepada orang tuanya tentang seorang kawan yang sudah dua minggu tidak masuk.

Ada juga seorang teman yang tidak masuk sekolah karena merasa malu belum membayar uang bulanan sekolah, tapi berkat kebijakan dari pihak sekolah anak itu boleh masuk sekolah seperti biasa, nanti urusan iuran bulanan orang tua dan pihak sekolah yang menyelesaikannya. Bahkan ada orang tua yang membayarnya setelah masa panen sawah. 

Saya salut juga dengan perilaku yang ditampilkan oleh para guru dan kepala sekolah yang selalu berupaya mendorong orang tua dan juga siswa agar bisa tetap bersekolah sampai selesai. Hubungan baik yang ditampilkan oleh para guru mendapat tempat dihati para orang tua. Sehingga para orang tua siswa kalau diminta datang ke sekolah untuk membicarakan apa saja yang terkait dengan kepentingan sekolah selalu kompak datang. Bahkan bersama merekalah pihak sekolah dapat merundingkan berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan  bersama.

Hal yang berkesan bagi saya, kalau ada teman sekelas yang tidak masuk, guru kamipun menganjurkan kami untuk datang kerumahnya menengok. Akhirnya tanpa disadari perilaku tersebut menjadi nilai kebersamaan yang kami rasakan. Bahasa kerennya kesetiakawanan sosial.  Kalau bertemu guru dimanapun, kami selalu berebut untuk menjadi yang pertamakali bisa bersalaman mencium tangannya dan membungkukan badan tanda hormat kami pada beliau. Siswa sekarang demikian atau tidak, entahlah.   

Aku pun masih ingat, kalau sekolah kami menghadapi perlombaan, guru memilih diantara kami yang pantas untuk dilombakan. Kawan kami yang berpostur tinggi dan kekar (karena kebiasaan bekerja sehari-hari dirumah, di kebun, di sawah membantu orang tua, dan lain pekerjaan lainnya) ditunjuk untuk mewakili sekolah dalam bidang olah raga.

Ada juga kawan kami yang terampil membuat hasta karya menjadi wakil untuk lomba membuat keterampilan, karena memang dirumahnya sudah terbiasa. Sekarang sulit mencari anak sekolahan yang terampil dalam membuat hasta karya, seperti kawan saya.

Sekarang musnah!. Anak sekolah jaman sekarang lebih terampil menghabiskan waktu dan uang dengan bermain  game, play station.  Bukan diajari bagaimana memeras keringat untuk memperoleh uang dengan cara-cara yang halal. Malah menjadi pemalak terhadap kawannya. Akhirnya muncul kurikulum muatan lokal hanya untuk mengajarkan hasta karya atau bertani. Padahal tidak perlu sekolah direpotkan oleh urusan seperti itu. Justru doronglah masyarakat diluar sekolah untuk kembali menghidupkan hal-hal yang menjadi kepemilikanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun