Tidak semua persoalan harus dimasukan kedalan kurikulum dan diserahkan pada sekolah. Cukuplah sekolah memerankan apa yang menjadi peran pokoknya yang menyangkut bidang akademik dan ko-kurikuler yang membuat anak senang bila belajar di sekolah. Biarlah muatan lokal terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari saja. Keterampilan bertani misalnya, tidak usah pihak sekolah yang mengajarkan tapi biarlah masyarakat/orang tua mereka sendiri, karena mereka lebih tahu.
Repot, kalau mencangkul saja harus menjadi pelajaran sekolah, kapan waktunya, dimana lahannya. Bahaya kalau orang tua merasa bahwa urusan mencangkul sudah harus ditangani oleh sekolah, akhirnya mereka berhenti mengajari anaknya cara-cara bertani, beternak, membuat hasta karya, dan keperigelan lainnya. Bagaimana kalau urusan sopan santun dan berbudi pekerti juga sudah diserahkan kesekolah menjadi kurikulum mulok, jangan-jangan orang tua/masyarakatpun cuci tangan.
Saya merasa, terlalu naif bila seakan-akan sekolah dan guru bisa memberikan apa saja yang dikehendaki masyarakat. Kita harus proporsional mana hak dan kewajiban sekolah, mana hak dan kewajiban orang tua/masyarakat, mana hal-hal yang bisa dan harus ditangani secara bersama-sama oleh pihak sekolah dan lingkungan masyarakatnya. Itulah kerjasam peran guru di sekolah dan orang tua di rumah. Itulah kerjasama sekolah dan masyarakat. Sekolah untuk masyarakat dan masyarakat untuk sekolah. Â Â Â