Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syekh Wali Perkasa, Pembuat Saka Tatal Masjid Agung Demak dari Perdikan Cahyana

15 Maret 2024   11:20 Diperbarui: 15 Maret 2024   11:28 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Syekh Wali Perkasa by Oxta Prihastono

Pada 1401 Saka atau 1479 Masehi, Kesultanan Demak Bintara baru saja berdiri sebagai imperium Islam pertama di Pulau Jawa pasca keruntuhan Majapahit. Kesultanan yang didirikan para wali itu tentu saja perlu membangun masjid agung sebagai pusat penyebaran Agama Islam.

Para wali seantero Jawa Dwipa pun berkumpul. Mereka bahu membahu menyelesaikan pengerjaan Masjid Agung Demak siang dan malam. Pada proses pembangunannya ternyata kurang tiang (saka guru) yang membutuhkan kayu glondongan yang besar. Raden Patah, Sang Sultan Demak dan Para Wali meminta bantuan kepada seorang saleh utusan dari wilayah Pengalasan Kilen atau yang dikenal sebagai Cahyana Karobal Minal Mu'minin bernama Makdum Amal untuk menyelesaikannya.

Beliau kemudian membuat tiang atau saka berbahan baku tatal (kayu sisa pengerjaan) dibantu oleh Sunan Kalijaga. Sebagaimana tertera pada teks Cariyosipun Redi Munggul :

"... Kacariyos Pangeran Kalijaga saweg tapa ing Giri Mlaka, sidik paningalipun lajeng jengkar. Sakdinten sakndalu saged dumugi ing Demak. Anjujug lenggah ing pancabrakan, pinanggih kaliyan Pangeran Wali Prakosa. Pangeran Kalijaga ataken, 'Lho Si Anak napa sing dadi bubuhan andika?' Pangeran Wali Prakosa mangsuli, 'Kula kabubuhan saka satunggal'. Pangeran Kalijaga mangsuli malih, 'Heh Anak, kula kang badhe ambantu nggrabahi sarta ngalus'. Nunten Wali kakalih wau enggal tumandang nyambut damel, sami mendet tatal. Lajeng dipungulingaken kaping sakawan insya Allah ta'ala iman tokhid ma'ripat Islam, tatal dados blabag, kaelus nunten dados balok"

Artinya : Alkisah, Pangeran Kalijaga sedang bersemedi di Giri Mlaka, lantas bangkit  dari pertapaan. Dalam sehari-semalam sampai di Demak. Lantas duduk di pancabrakan, bertemu dengan Pangeran Wali Perkasa. Pangeran Kalijaga bertanya, : "Siapa gerangan dirimu?". Wali Perkasa menjawab, "Saya yang dimintai tolong membuat Saka Tunggal". Pangeran Kalijaga berkata lagi, "Hai, Nak, aku yang akan membantu menyerut dan mengukirnya"'. Kemudian kedua wali bekerjasama, bahu-membahu membuat tatal (serpihan kayu). Lalu dibolak-balikkan empat kali, atas izin Allah, beriman satu ma'rifat Islam, serpihan kayu jadi papan, diraut menjadi balok.

Teks ini sedikit berbeda dengan kisah sejarah yang lebih dikenal bahwa pembuat Saka Tatal adalah Sunan Kalijaga. Kalau dalam Babad Cahyana tersebut Sang Sunan membantu pembuatan saka yang dikerjakan oleh Wali Perkasa : 'Kula kabubuhan saka satunggal' dan Sunan Kalijaga yang membantu mengerjakannya : 'Kula kang badhe ambantu nggrabahi sarta ngalusi'. Jadi, saka tatal adalah hasil karya Sunan Kalijaga dan Wali Perkasa

Saka Tatal Masjid Agung Demak (Dok : Wikipedia)
Saka Tatal Masjid Agung Demak (Dok : Wikipedia)

Ketika Saka Tatal sudah jadi dan terpasang, masalah berikutnya muncul. Masjid dalam keadaan sirung atau doyong alias miring dan arah kiblatnya belum tepat menghadap Ka'bah. Wali Sanga plus Makdum Amal lantas berkumpul untuk berembuk. Persamuhan itu terjadi pada saat malam telah tergelincir, lintang waluku tengah bersinar terang.

Pada saat itu, wali dari Cahyana itu memberi saran yang dalam Babad Redi Munggul berbunyi : "Monggo sami nenuwun ing Allah, kawula ingkang dadhos Palu (dedonga), kanjeng Wali saha Susuhanan ingkang dadhos gandhen (ngijabahi)". Artinya : Mari kita memohon kepada Allah, saya akan berdoa, dan bila berkenan para Wali mohon untuk mengijabah.

Atas izin Allah, Masjid Agung Demak berdiri tegak dan arah kiblatnya telah tepat menghadap Ka'bah. Para wali lantas takjub dengan hati suci dan tulus utusan dari Cahyana itu yang doanya bisa dikabulkan kontan oleh Allah.  Peristiwa inilah yang kemudian dipercaya menjadi awal predikat 'perkasa' disematkan. Gelar tersebut diberikan atas kerja kerasnya membuat Saka Tatal dan menegakkan posisi Masjid Agung Demak.

Oleh karena itu, Makdum Amal berikutnya bergelar Syekh Makdum Wali Perkasa, seorang penyebar Agama Islam yang saleh dan perkasa dari Tanah Cahyana

Masjid Jami Wali Perkasa (Dok. Pribadi)
Masjid Jami Wali Perkasa (Dok. Pribadi)

Sebagai informasi, Kata Pekiringan yang kini menjadi nama desa tempat Wali Perkasa dimakamkan juga diyakini berasal dari peristiwa tersebut. Terkabulnya doa sang wali menjadikan hati Raden Patah dan para wali tenang dan tak risau hati lagi (eringing panggalih) yang digambarkan dalam pernyataan : "Saklangkung andadosaken eringing panggalihipun sarta sangsaya wewah asih dhumateng Ki Wali Prakosa". Kata 'ering' kemudian berubah menjadi 'pekeringan' lalu menjadi 'pekiringan', yang menjadi nama desa Desa Pekiringan, Kecamatan Karangmoncol, Purbalingga. Saat ini di desa tersebut ada Masjid Jami Wali Perkasa yang berada di depan makamnya.

Makam Syekh Wali Perkasa di Belakang Masjid (Dok. Pribadi)
Makam Syekh Wali Perkasa di Belakang Masjid (Dok. Pribadi)

Catatan : Menurut kami kami, upaya Wali Perkasa menegakan masjid yang sirung atau doyong adalah membetulkan arah kiblat yang melenceng dengan bantuan ilmu astronomi berdasarkan peredaran bintang-bintang. Jadi, beliau seorang yang paham ilmu pengetahuan, bukan menggunakan daya magis.

Anugerah Tanah Perdikan

Tak sekadar diberi pengakuan dan gelar sebagai "Wali Perkasa", Sang Wali dari Pengalasan Kilen ini juga dianugerahi beslit dari Raden Patah berupa pengakuan "kemerdekaan" atas wilayah Cahyana. Tanah Merdeka atau Perdikan ini dimaksudkan bahwa wilayah Cahyana menjadi wilayah tempat suci untuk belajar agama dan bebas dari pungutan pajak dan setoran upeti ke Kesultanan Demak.

Setelah Masjid Agung Demak selesai pembangunannya pada 1479, tiga tahun kemudian, pada 1481, Raden Patah mengeluarkan Serat Kekancingan yang mengakui "Pamerdikane Cahyana Amargi Allah". Beslit ini dapat dilihat dalam karya seorang Aspirant Controleur Pemerintah Kolonial Belanda bernama Catharinus Johannes (C.J) Hasselman pada 1887 berjudul "De Perdikan Dessa's in Het District Tjahijana : Tijdschrift voor het Binnenland Bestuur (Dell I)" atau Desa Perdikan di Distrik Cahyana : Jurnal Tata Kelola Domestik (Bagian I).

"Penget lajang kang idi Pangeran Sultan ing Demak. Kagaduha dening Mahdum Wali Prakosa ing Tjahjana. Mulane anggaduha lajang Ingsun dene angrowangi amelar tanah, sun tulusaken Pamardikane pesti lemah Pamardikane Allah, tantaha ana angowahana ora sun wehi suka halal dunja aherat. Anaha anak putu aba aniaja. Mugaha kena gutukking Allah lan oliha bebenduning para Wali kang ana ing Nusa Djawa. Estu jen Peperdikaning Allah. Titi"

Inti dari Serat Kekancingan, Sultan Demak memberikan surat keputusan kepada Wali Perkasa bahwa Cahyana adalah wilayah yang merdeka karena Allah. Sang Sultan mengakui hal tersebut dan mengutuk siapapun yang berani mengubah status tanah tersebut. Tak main-main kutukan itu juga dia sampaikan akan datang dari wali seantero Nusa Jawa dan akan datang laknat Allah yang maha pedih.

 

Oleh wasiat tersebut, bukti pengakuan eksistensi Perdikan Cahyana itu dilaksanakan oleh para pengusa Jawa secara turun temurun. Mereka tidak ada yang berani mengubahnya. Setelah Demak runtuh, berganti dengan Kesultanan Pajang lalu Mataram dan diteruskan oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, deklarasi piagam pamardikan tersebut tetap bertahan.

Museum Sana Budaya Yogyakarta mempunyai naskah koleksi dengan kode PB. A 271 tentang daftar penerima kekancingan atau beslit secara turun temurun yaitu: Pangeran Makdum Wali Prakosa dari Sultan Demak (1403), Pangeran Wali Mahdoem Tjahjana dari Sultan Pajang (1503), Kiyai Mas Pekeh dari Sultan Pajang (1530 M), Kiyai Waringin dari Raja Mataram (1550), Pangeran Sarawetjana I dari Raja Mataram (1565), Kiyai Bagus Kerti dari Susuhunan Surakarta (1605), Kiyai Wangsadjiwa dari Susuhunan Surakarta (1675), Kiyai Saradjiwa dari Susuhunan Surakarta (1715), Kiyai Noertaman, Kiyai Mertadiwirja, Kiyai Redja Muhammad dari Susuhunan Surakarta (1730). Untuk selanjutnya Keraton Yogyakarta mengutus Eyang Raden Candra Wijaya menjadi juru kunci pertama, demikian berikutnya sampai juru kunci-juru kunci yang sekarang bertugas.

Pergantian kekancingan menjadi juru kunci disebabkan kewenangan mengeluarkan beslit perdikan diambil alih Hindia Belanda. Meski demikian, pemerintah kolonial sendiri dikenal sangat menghormati perdikan, terutama karena di dalamnya banyak terdapat makam orang suci dan keramat leluhur termasuk situs-situs purbakala. Tanah Perdikan justru baru dihapuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa-Desa Perdikan yang ditetapkan pada tanggal 4 September 1946. Nah, dengan peraturan tersebut maka Perdikan Cahyana pun berakhir eksistensinya.

Jadi, di Bumi Perwira Purbalingga ini ada sebuah wilayah pamardikan bebas pajak yang eksis sampai ratusan tahun, yaitu, Perdikan Cahyana. Tanah perdikan itu mampu bertahan melintas jaman selama sekitar 465 tahun (1403 S atau 1481 M sampai dengan 1946 M).

Sumber : 

Buku "Cahyana Karobal Minal Mu'minin : Pusat Penyebaran Agama Islam di Tengah Nusa Jawa" karya Agus Sukoco dan Gunanto ES terbitan SIP Publishing (2024). Selengkapnya bisa dibaca di buku yang dapat dipesan ke kami yaaa..

Cover Buku Cahyana Karabal Minal Mu'Minin (Dok : Sip Publishing)
Cover Buku Cahyana Karabal Minal Mu'Minin (Dok : Sip Publishing)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun