Beberapa waktu yang lalu, gue mengalami fase menyadari suatu hal yang penting banget di hidup gue. Gue pikir, kayaknya pengalaman gue ini bagus kalau dituangkan dalam sebuah tulisan. Siapa tau, there is SOMEBODY on this earth needs to read this. Maka dari itu, terlahirlah tulisan ini ke dunia.
Oke, mari kita mulai.
Semasa sekolah, gue adalah orang yang selalu diselimuti perasaan takut. Bahkan masalah sepele bisa bikin gue overthinking saking takutnya. Kayaknya, orang-orang terdekat gue juga menyadari betapa seringnya gue ngomong, “Gue takut, nih …” atau “Kok gue takut, ya?”
Salah satu ketakutan terbesar gue saat itu adalah: gue takut kalau gue nggak 'cukup' untuk bisa dicintai dan disayangi orang lain.
'Orang lain' di sini maksudnya bukan cowok ataupun semacam gebetan gue, ya. Tapi adalah keluarga, saudara, dan teman-teman gue.
Sebenarnya apa yang bikin gue merasa begitu sejak masih kecil?
Gue adalah anak yang tumbuh di lingkungan yang selalu memuji gue sebagai anak yang pintar. Pujian itu gue dapatkan karena gue sering mendapatkan peringkat yang tinggi di sekolah atau saat melakukan hal-hal yang menurut orang adalah bentuk perilaku orang pintar (contohnya: belajar, nggak suka main game, suka baca buku). Sejak TK sampai SMA, gue punya track record peringkat yang bagus dan perilaku yang nggak neko-neko. Gue sih dulu senang-senang aja dapat pujian itu. Sampai akhirnya, karena terlalu banyak orang yang memuji gue, tanpa sadar gue menjadikan pintar sebagai identitas diri gue.
Suatu ketika, ada anak yang lebih pintar dari gue. Kemunculan anak itu bikin peringkat gue turun. Di saat-saat itu lah, entah kenapa gue mulai merasa takut. Gue takut orang-orang akan memperlakukan gue dengan berbeda karena gue kehilangan sesuatu yang membuat gue selalu dilihat orang-orang. Gue takut gue kehilangan satu-satunya hal yang selalu dibanggakan orang-orang terhadap gue. Iya, gue takut gue nggak pintar lagi.
Dan gue takut karena menurut gue, kehilangan identitas gue sebagai orang yang pintar itu bisa bikin gue nggak cukup untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang dari orang-orang di sekitar gue.
Supaya gue nggak merasa ketakutan lagi, gue berusaha keras supaya peringkat gue naik. Supaya gue nggak kehilangan cinta dan kasih sayang orang-orang, gue belajar susah payah untuk itu. Sometimes I could do it, but there were some days I couldn’t do it. It hurted me so bad that I thought, “What if I am never good enough to be loved by anyone?”