"Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung." (QS. Al-Jumu'ah [62]: 10)
Ayat ini sering dijadikan dasar untuk meninggalkan masjid segera setelah shalat, terutama oleh kalangan Muhammadiyah. Namun, penafsiran yang komprehensif menunjukkan bahwa ayat ini tidak mengabaikan zikir, bahkan justru memerintahkannya dengan redaksi yang tegas: "wadzkurullha katsr", artinya: ingatlah Allah sebanyak-banyaknya.
Dalam Tafsir al-Qurub, dijelaskan bahwa perintah untuk "bertebaran" adalah perintah mubah (boleh), sedangkan perintah zikir adalah bentuk kesalehan berkelanjutan yang lebih utama dan dianjurkan. Maka, meskipun seseorang diperbolehkan kembali ke urusan dunia setelah shalat, hal itu tidak boleh serta-merta menafikan zikir. Bahkan, akan lebih baik jika seseorang terlebih dahulu menyempurnakan zikirnya sebelum beranjak kepada aktivitas duniawinya.
Pandangan ini diperkuat oleh al-Margh yang menyebut bahwa zikir adalah penyeimbang terhadap kesibukan dunia, agar manusia tidak terjerumus dalam kelalaian. Zikir berjamaah, dalam hal ini, berperan bukan hanya sebagai ibadah lisan, tetapi juga sebagai mekanisme pembentukan ruh keislaman yang kolektif.
3.Zikir Berjamaah: Pengamalan Terbaik dari Dua Ayat
 Zikir berjamaah setelah shalat, sebagaimana yang dilazimkan oleh Nahdlatul Ulama, sejatinya merupakan implementasi terbaik dari integrasi dua ayat ini. QS. An-Nisa: 103 memberi landasan kuat bahwa zikir adalah bagian dari ibadah pasca-shalat, sementara QS. Al-Jumu'ah: 10 memberikan ruang agar zikir tersebut dilakukan sebelum kembali ke aktivitas dunia.
Lebih dari itu, dalam perspektif tasawuf dan tradisi pesantren, zikir berjamaah memiliki dimensi transformasi jiwa dan pembinaan moral kolektif. Dalam Iy' 'Ulm al-Dn, Imam al-Ghazl menyebutkan bahwa berkumpul untuk zikir adalah sarana penyucian jiwa yang paling efektif, karena dalam kebersamaan terdapat semangat saling mengingatkan dan memperkuat iman.
Dengan demikian, zikir berjamaah setelah shalat bukan hanya boleh, tetapi juga lebih utama, terutama dalam konteks sosial di mana jamaah membutuhkan ruang spiritual bersama untuk memperkuat hubungan dengan Allah dan sesama Muslim.
C.Analisis Praktik Zikir Setelah Shalat dalam Perspektif Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
 Perbedaan cara umat Islam menjalankan praktik ibadah setelah shalat, khususnya dalam hal zikir berjamaah atau tidak, bukanlah hal baru di tengah masyarakat Indonesia. Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, memiliki pendekatan berbeda terhadap praktik ini. Namun, perbedaan tersebut tidak berdiri di atas dasar kontradiksi ayat, melainkan pada penekanan metodologis terhadap teks.
1. Nahdlatul Ulama: Zikir Berjamaah sebagai Tradisi Kolektif Spiritual