Guru bahagia jika murid mampu mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.
Kelas kaku, terasa seperti ruang ujian.
Kelas hidup, terasa seperti ruang dialog dan laboratorium kehidupan.
Contoh sederhana:
- Surface teaching: Guru menjelaskan definisi gotong royong murid menghafal.
- Deep teaching: Guru mengajak murid membersihkan kelas bersama setelah itu berdiskusi, "Apa rasanya bekerja bersama? Mengapa lebih ringan kalau dilakukan bersama-sama?"
Perbedaannya jelas: yang pertama menambah pengetahuan, yang kedua menumbuhkan kesadaran.
Kisah Mini Reflektif: Selembar Kertas di Kelas Pancasila
Suatu hari, di kelas Pendidikan Pancasila, seorang guru masuk sambil membawa selembar kertas besar yang sudah kusut. Ia menunjukkannya kepada murid-murid dan berkata, "Anak-anak, siapa yang mau kertas ini?" Hampir semua tangan terangkat. Guru itu lalu meremas-remas kertas tersebut, menginjaknya, bahkan mencoretnya sedikit dengan spidol. Kemudian ia bertanya lagi, "Sekarang, siapa yang masih mau kertas ini?"
Hampir semua tangan masih terangkat. Lalu guru itu tersenyum dan berkata,
"Kertas ini tetap bernilai meski sudah diremas, diinjak, dan dicoret. Begitu juga dengan manusia. Setiap orang tetap punya nilai, meski pernah melakukan kesalahan, meski tampak tidak sempurna." Hening. Murid-murid terdiam, lalu mulai mengangguk pelan. Seorang murid yang biasanya pendiam berbisik, "Saya baru paham, Bu... kalau gagal bukan berarti saya tidak berharga."
Hari itu, tidak ada definisi tentang martabat manusia yang dihafalkan. Tetapi ada pengalaman batin yang membekas. Sebuah penghayatan yang mungkin akan mereka bawa sampai dewasa. Itulah deep teaching: bukan sekadar mengisi kepala, tapi menggerakkan hati.
Apa Itu Deep Learning?
Deep learning adalah proses belajar murid yang bersifat kritis, reflektif, bermakna, dan berkelanjutan. Murid tidak hanya menyimpan informasi di kepala, tetapi juga memahami makna, menghubungkan dengan kehidupan, dan menerapkannya dalam tindakan.