Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Deep Teaching dan Deep Learning; Dua Sisi dari Satu Koin Pendidikan untuk Memanusiakan Manusia

25 September 2025   23:15 Diperbarui: 25 September 2025   23:15 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

DEEP TEACHING DAN DEEP LEARNING; DUA SISI DARI SATU KOIN PENDIDIKAN YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA

Oleh Idris Apandi, Penulis Buku Memahami Deep Learning Tanpa Pening

Pendahuluan

Bayangkan seorang guru masuk kelas, menyalakan spidol, menulis definisi di papan tulis, lalu menyuruh murid menghafal. Sepuluh tahun lalu mungkin cara ini masih dianggap lumrah. Tetapi hari ini, di era digital di mana informasi berlimpah hanya dengan sekali klik, apakah cara itu masih cukup?

Jawabannya: tidak. Murid kita tidak butuh sekadar definisi. Mereka butuh bimbingan agar bisa memahami, menghayati, dan mengaitkan ilmu dengan hidupnya. Inilah yang disebut dengan deep teaching.

Ki Hajar Dewantara sudah lama mengingatkan kita lewat falsafahnya: "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."
(Guru di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang memberi dorongan.) Kalimat ini seperti peta jalan. Guru bukan sekadar "pemberi materi", tetapi "pemberi arah".

Apa Itu Deep Teaching?

Deep teaching bisa disebut sebagai seni mendidik dengan hati, mengajar dengan rasa, untuk memanusiakan manusia. Di sini, guru tidak hanya fokus menyelesaikan silabus, tetapi berusaha membuat ungaian benar-benar hidup. Kalau surface teaching hanya mentransfer informasi, deep teaching mentransformasi murid. Bedanya seperti memberi ikan dengan mengajarkan cara memancing---bahkan mengajak murid memahami ekosistem ungai tempat ikan hidup.

Albert Einstein pernah berkata:  "Pendidikan bukan soal menghafal fakta, tapi melatih pikiran untuk berpikir". Nah, deep teaching persis ke situ arahnya: membuat murid berpikir kritis, merasakan nilai, lalu bertindak dengan kesadaran.

Guru dan Penghayatan Tugas

Lalu apa kaitannya dengan profesionalisme guru?

Guru profesional sejati bukan hanya yang punya sertifikat atau gelar, tapi yang menghayati tugasnya.

  • Ia sadar bahwa murid adalah subjek, bukan objek.
  • Ia hadir dengan integritas, bukan sekadar formalitas.
  • Ia menyadari kelas bukan ruang ujian, tetapi ruang hidup.

Paulo Freire, tokoh pendidikan dari Brasil, mengatakan:

"Murid yang disentuh hatinya lewat pendidikan akan tumbuh jadi pribadi yang mampu mengubah dunia." Dan guru---lewat deep teaching---adalah pemicu perubahan itu.

Strategi Sederhana Mewujudkan Deep Teaching

Bagaimana cara mewujudkannya di ruang kelas? Tidak perlu muluk-muluk, berikut beberapa strategi sederhana:

  1. Mulai dari pertanyaan, bukan jawaban.

Jangan hanya bertanya "Apa definisi gotong royong?" tapi cobalah: "Kenapa orang mau gotong royong, meski tidak dibayar?" Pertanyaan seperti ini menyalakan rasa ingin tahu.

  1. Kaitkan dengan kehidupan nyata.

Saat mengajarkan teks deskriptif, ajak murid keluar kelas mengamati taman sekolah. Saat membahas keadilan dalam Pancasila, bahas pembagian tugas piket. Konteks nyata membuat pelajaran terasa relevan.

  1. Beri ruang refleksi.

Ajak murid menulis catatan singkat: "Apa yang paling kamu pahami hari ini? Apa yang masih membingungkan?" Refleksi sederhana ini membuat mereka belajar mengenali proses pikirnya sendiri.

  1. Aktifkan pengalaman, bukan sekadar hafalan.

Gunakan diskusi, proyek, drama, atau simulasi. Dengan begitu, belajar bukan lagi "mendengar" tapi "mengalami".

  1. Belajar terus sebagai guru.

Guru yang berhenti belajar akan jatuh pada rutinitas dangkal. Membaca buku, berdialog dengan sesama guru, hingga belajar dari murid sendiri adalah cara menjaga agar api deep teaching tetap menyala.

Ilustrasi Perbandingan: Surface Teaching vs Deep Teaching

Surface Teaching (Mengajar Biasa)

Deep Teaching (Mengajar dengan Hati)

Guru datang ke kelas, membuka buku teks, menjelaskan definisi, lalu memberi tugas.

Guru datang ke kelas dengan semangat, membuka pembelajaran dengan pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu murid.

Murid mendengarkan pasif, mencatat, lalu menghafal untuk ujian.

Murid berdiskusi, bertanya, mencoba, bahkan berdebat sehat. Mereka belajar dengan aktif.

Penilaian hanya berdasarkan angka ujian.

Penilaian tidak hanya angka, tapi juga sikap, refleksi, dan pemahaman mendalam.

Fokus pada menyelesaikan silabus.

Fokus pada menumbuhkan kesadaran, karakter, dan nilai hidup.

Guru puas jika murid bisa mengulang jawaban dengan benar.

Guru bahagia jika murid mampu mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari.

Kelas kaku, terasa seperti ruang ujian.

Kelas hidup, terasa seperti ruang dialog dan laboratorium kehidupan.

Contoh sederhana:

  • Surface teaching: Guru menjelaskan definisi gotong royong murid menghafal.
  • Deep teaching: Guru mengajak murid membersihkan kelas bersama setelah itu berdiskusi, "Apa rasanya bekerja bersama? Mengapa lebih ringan kalau dilakukan bersama-sama?"

Perbedaannya jelas: yang pertama menambah pengetahuan, yang kedua menumbuhkan kesadaran.

Kisah Mini Reflektif: Selembar Kertas di Kelas Pancasila

Suatu hari, di kelas Pendidikan Pancasila, seorang guru masuk sambil membawa selembar kertas besar yang sudah kusut. Ia menunjukkannya kepada murid-murid dan berkata, "Anak-anak, siapa yang mau kertas ini?" Hampir semua tangan terangkat. Guru itu lalu meremas-remas kertas tersebut, menginjaknya, bahkan mencoretnya sedikit dengan spidol. Kemudian ia bertanya lagi, "Sekarang, siapa yang masih mau kertas ini?"

Hampir semua tangan masih terangkat. Lalu guru itu tersenyum dan berkata,
"Kertas ini tetap bernilai meski sudah diremas, diinjak, dan dicoret. Begitu juga dengan manusia. Setiap orang tetap punya nilai, meski pernah melakukan kesalahan, meski tampak tidak sempurna." Hening. Murid-murid terdiam, lalu mulai mengangguk pelan. Seorang murid yang biasanya pendiam berbisik, "Saya baru paham, Bu... kalau gagal bukan berarti saya tidak berharga."

Hari itu, tidak ada definisi tentang martabat manusia yang dihafalkan. Tetapi ada pengalaman batin yang membekas. Sebuah penghayatan yang mungkin akan mereka bawa sampai dewasa. Itulah deep teaching: bukan sekadar mengisi kepala, tapi menggerakkan hati.

Apa Itu Deep Learning?

Deep learning adalah proses belajar murid yang bersifat kritis, reflektif, bermakna, dan berkelanjutan. Murid tidak hanya menyimpan informasi di kepala, tetapi juga memahami makna, menghubungkan dengan kehidupan, dan menerapkannya dalam tindakan.

Contoh sederhana:

  • Murid yang hanya bisa mengulang definisi keadilan tidak menunjukkan deep learning.
  • Murid yang mampu menilai apakah pembagian tugas piket di kelas sudah adil atau belum, dan memberi alasan logis, itulah deep learning.

Bagaimana Kaitan Kaitan Antara Deep Teaching dan Deep Learning?

Deep teaching merujuk pada praktik mengajar yang tidak hanya berfokus pada penyampaian materi (surface teaching), melainkan mendorong pengalaman belajar yang bermakna, reflektif, dan berkelanjutan. Deep teaching adalah seni mengajar untuk memfasilitasi deep learning.  Kalau deep learning adalah tujuan (hasil yang ingin dicapai: murid belajar secara mendalam), maka deep teaching adalah jalannya (strategi, pendekatan, dan praktik mengajar yang memungkinkan itu terjadi).

Dengan kata lain, deep teaching dan deep learning ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Deep learning memerlukan deep teaching. Tanpa deep learning, deep teaching sulit terjadi. Deep Teaching menyangkut bagaimana guru mengajar. Sedangkan deep learning menyangkut bagaimana murid belajar.

Deep teaching adalah cara mengajar yang berangkat dari kesadaran: mendidik itu bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan. Ia bukan sekadar metode, tetapi seni. Ia bukan sekadar strategi, tetapi penghayatan. Guru yang menerapkan deep teaching hadir bukan hanya untuk menambah pengetahuan murid, tetapi juga menumbuhkan kesadaran, karakter, dan nilai hidup. Deep teaching mengingatkan kita bahwa guru bukan hanya pekerja kurikulum, melainkan pembentuk peradaban. Dan pendidikan sejati hanya lahir jika guru berani mendidik dengan hati, mengajar dengan rasa, dan sungguh-sungguh memanusiakan manusia.

Deep teaching dan deep learning adalah dua konsep yang tak terpisahkan. Guru yang menerapkan deep teaching menghadirkan pembelajaran yang bermakna, sementara murid yang mengalami deep learning tumbuh menjadi pribadi yang kritis, reflektif, dan berkarakter.

Penutup

Pada akhirnya, pendidikan sejati bukan hanya tentang pengetahuan yang tertulis di buku, tetapi tentang kesadaran hidup yang lahir dari pertemuan antara guru yang mengajar dengan hati dan murid yang belajar dengan rasa. Deep teaching adalah panggilan guru. Sedangkan Deep learning adalah buahnya pada murid.
Dan keduanya bersama-sama menjadi jalan menuju pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun