Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Menulis di Era AI: Masihkah Layak Disebut Penulis?

21 September 2025   07:10 Diperbarui: 21 September 2025   07:10 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Banyak orang lupa, menulis bukan hanya soal menghasilkan teks. Menulis adalah proses berpikir, merenung, merasakan, dan mengolah pengalaman hidup. AI bisa membantu menyusun kalimat yang rapi, tetapi ia tak bisa merasakan patah hati, bahagia, atau getirnya perjuangan.

Ketika seorang penulis menuangkan kisah hidupnya, ada jejak emosi dan energi batin yang menyatu dalam kata. Itu yang membuat tulisan manusia berbeda. Dengan kata lain, AI bisa meniru gaya bahasa, tapi tak bisa meniru jiwa.

Analogi Sederhana

Bayangkan seorang pelukis. Ia bisa menggunakan kuas manual atau aplikasi digital. Apakah media yang dipakai mengubah statusnya sebagai seniman? Tidak. Yang penting, gambar itu lahir dari ide dan selera estetikanya. Begitu pula dengan penulis. Menggunakan AI bukanlah dosa. Namun, jika hanya bergantung penuh tanpa menyumbang gagasan, maka ia kehilangan identitas sebagai penulis.

Contoh Nyata: Penulis dan AI

Beberapa penulis dunia sudah mulai terbuka menggunakan AI dalam proses kreatif mereka.

  1. Paul Tremblay, novelis horor terkenal, mengaku pernah menggunakan AI untuk menguji alternatif ide plot. Namun, ia tetap menulis ulang hampir seluruh bagiannya agar sesuai dengan gaya khasnya. Ia menyebut AI sebagai sparring partner, bukan sebagai "penulis bayangan".
  2. Casey Newton, jurnalis teknologi di Amerika, menggunakan AI untuk membantu merangkum dokumen panjang. Tapi, analisis, opini, dan gaya menulis tetap lahir darinya. AI hanya mempercepat proses riset.
  3. Penulis lokal dan blogger juga ada yang memanfaatkan AI untuk memoles artikel. Misalnya, seorang blogger Indonesia mengaku AI membantunya memperbaiki struktur bahasa. Namun, cerita pengalaman pribadi, opini, dan sentuhan humor tetap datang dari dirinya.

Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa AI bisa membantu, tapi tak bisa menggantikan. Penulis yang bijak tahu batas: ia tidak menyerahkan seluruh kendali, melainkan tetap menjadi sutradara dari tulisannya.

Refleksi Pribadi: Menulis, Healing, dan AI

Saya pernah bertemu seorang guru yang tengah menjalani masa sulit dalam hidupnya. Ia kehilangan sahabat karib sekaligus rekan kerja. Duka itu membuatnya sulit fokus, bahkan untuk sekadar menyiapkan materi pelajaran.

Dalam kebingungan, ia mulai menulis catatan harian. Namun, setiap kali hendak menuangkan perasaan, ia merasa kata-katanya terlalu kaku. Di sinilah ia mencoba bantuan AI. Bukan untuk menulis penuh, melainkan untuk memberi alternatif ungkapan atas perasaan yang ia alami.

"AI menolong saya menemukan bahasa," katanya, "tapi tetap saya yang memilih mana kalimat yang pas untuk menggambarkan hati saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun