Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Gerakan Literasi dan Peningkatan Kemampuan Menulis Guru

10 November 2020   15:59 Diperbarui: 10 November 2020   16:24 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

GERAKAN LITERASI DAN PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS GURU

Oleh: IDRIS APANDI, S.Pd., M.Pd.

(Penulis Ratusan Artikel dan Puluhan Buku, Widyaiswara Ahli Madya LPMP Jawa Barat, dan Anggota Dewan Pendidikan Provinsi Jawa Barat Masa Jabatan 2019-2024)

Sejak Gerakan Literasi Sekolah (GLS) digulirkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015, sekolah-sekolah mulai bergerak dan membuat berbagai kegiatan untuk membangun budaya literasi. Salah satu bentuknya adalah menggerakkan guru untuk membaca dan menulis. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena guru-guru adalah ujung tombak pembelajaran. 

Dunia pendidikan Indonesia memerlukan guru-guru yang profesional dan juga literat alias melek terhadap informasi dan ilmu pengetahuan. Menulis harus menjadi tradisi akademik seorang guru. Sebagai kaum intelektual, menulis adalah bentuk sumbangsihnya untuk pengembangan dan pemajuan ilmu pengetahuan.

Menulis merupakan jejak pemikiran yang akan abadi. Jasad seorang penulis boleh tiada, tetapi pemikirannya akan selalu ada dan menjadi sumber inspirasi para pembacanya. Hasil pemikiran para filsuf dari  zaman Yunani kuno seperti Thales, Socrates, Plato, Aristoteles tetap jadikan rujukan sampaikan saat ini.  

Buku-buku para ilmuwan Islam seperti; (1) Al Farabi (872-950 M) seorang ahli filsafat, logika, matematika,  ilmu alam, teologi, ilmu politik dan kenegaraan, (2) Al Batani (858-929 M) ahli astronomi dan ahli matematika, (3)  Ibnu Tsina (980-1037 M) ahli kedokteran, (4)  Ibnu Batutah (1304-1369) seorang pengembara dan pengarang kisah fiksi, (5) Ibnu Rusyd (1126-1198 M) ahli filsafat, kedoteran, dan fiqih, (6) Muhammad Ibnu Musa Al Khawarizmi (780-850 M) ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi, (7) Umar Khayyam (1048-1131 M) ahli matematika dan astronomi, (8)  Tsabit bin Qurrah (826-901) ahli matematika dan astronomi, (9) Muhammad bin Zakaria Al Razy (825-925) ahli filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran, dan (10) Abu Musa Jabi Al Hayyan (722-804) ahli kimia memberikan sumbangsih yang sangat luar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dunia. [1]

Dalam konteks Indonesia, bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara meninggalkan pemikiran-pemikirannya seputar pendidikan yang wajib menjadi rujukan para pelaku pendidikan di Indonesia. Bahkan Finlandia yang dikenal sebagai salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia menjadikan pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu referensi dalam pengembangan kurikulum pendidikan di negara tersebut.

 Begitu pun hasil pemikiran para pendiri bangsa ini seperti Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, Natsir, dan tokoh-tokoh lainnya perlu menjadi contoh bagi seluruh bangsa Indonesia bahwa perjuangan bukan hanya mengangkat senjata, tetapi berjuang melalui pemikiran. Ketajaman sebuah mata pena bisa lebih ampuh dibandingkan dengan kekuatan bom nuklir sekalipun.

Para guru adalah pejuang pendidikan yang wajib memberikan teladan termasuk dalam konteks membangun dan mengembangkan budaya literasi. Kegiatan menulis merupakan salah satu bentuk teladan literasi dari para guru untuk rekan sejawat dan untuk peserta didik. Menulis menjadikannya beda dengan guru-guru yang lain. Menulislah! Tulis apa saja yang dipandang bermanfaat untuk diri, sesama, dan ilmu pengetahuan. Menulislah dari hati. Jadilah diri sendiri saat menulis. Jangan mencoba untuk mengikuti gaya atau karakter orang lain dalam menulis, karena hal tersebut belum tentu sesuai dengan passion kita. Menulislah dengan perasaan nyaman dan bahagia. Bahkan saat sedih atau marah pun, menulislah hingga membuat perasaan menjadi bahagia. Itulah yang saya sebut menulis sebagai bentuk terapi jiwa.

Berbagai pelatihan menulis sudah banyak dilakukan baik oleh pemerintah, organisasi profesi guru, maupun komunitas. Tujuannya untuk menjembatani kebutuhan guru dalam meningkatkan kemampuan menulisnya. Hal ini harus terus dipertahankan bahkan ditingkatkan. Jangan sampai berbagai pelatihan menulis tersebut hanya sekadar formalitas mengejar sertifikat pelatihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun