Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manajemen Sekolah Lima Hari, Tirulah Model Purwakarta

15 Juni 2017   09:06 Diperbarui: 15 Juni 2017   09:30 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

Kementerian berencana memberlakukan lima hari sekolah. Hal ini sudah diatur dalam Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Tujuannya untuk menguatkan karakter siswa sejalan Program Penguatan Pendidikan Karakter (P3K) sebagai  implementasi Nawa Cita yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo.  Walau demikian, hal ini mengundang penolakan karena kebijakan ini dianggap akan memberatkan pihak sekolah yang menghadapi keterbatasan SDM dan sarpras.

Sekolah lima hari sebenarnya bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Di kota Bandung hal ini telah berjalan sejak tahun 2010. Di Purwakarta sekolah lima hari juga sudah dijalankan sejak tahun tahun pelajaran 2011/2012 dengan konsep Pendidikan Tematik “Atikan Pendidikan Purwakarta Istimewa” yang diatur dalam Peraturan Bupati  Nomor 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter. Kegiatan belajar dimulai sejak pukul 06.00 s.d. 11.45 bagi SD dan SMP, dan pukul 06.00 s.d. 14.00 bagi siswa SMA/SMK.

Hari Senin disebut “Ajeg Nusantara.” Intinya membentuk karakter siswa menjadi manusia Indonesia yang cinta tanah air, memperkenalkan kekayaan alam dan kekayaan budaya yang harus dipelihara dan harus dilestarikan. Selain itu, ditanamkan sikap toleransi dan menghormati kebhinekaan bangsa Indonesia.

Hari Selasa disebut “Mapag di Buana.” Intinya, para siswa didorong untuk melek teknologi, informasi, dan komunikasi dalam menghadapi globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Selain itu, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan internasional juga dibelajarkan.

Dengan kata lain, para siswa jangan sampai “kurung batokeun”atau hanya tahu daerahnya sendiri, tidak tahu daerah lain. Siswa harus membuka cakrawala berpikirnya, menambah ilmu pengetahuan agar wawasannya bertambah. Dan hal ini tentunya tidak dapat dipisahkan dengan ketersediaan sumber belajar dan akses internet.

Hari Rabu disebut “Maneuh di Sunda.” Intinya, para siswa diperkenalkan dengan budaya dan falsafah hidup Sunda seperti Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh. Silih Asah artinya adalah saling berbagi pengetahuan dan informasi agar sama-sama memiliki kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Ilmu yang disebarkan akan semakin memberikan manfaat kepada yang lain dan tentunya akan semakin berkah.

Silih Asih artinya adalah saling menyayangi dan saling mengasihi. Tidak membeda-bedakan antara yang dengan yang lain. Kasih sayang akan melahirkan kenyamanan, kedamaian, kerukunan, kekeluargaan, persatuan dan kesatuan antar masyarakat.

Silih Asuh adalah saling menjaga atau saling mengayomi. Orang yang kuat membantu orang yang lemah, orang kaya membantu orang miskin, atau senior menjadi mentor juniornya. Dengan demikian, akan terjalin keharmonisan dalam kehidupan. Pada intinya manusia, baik kuat atau lemah, kaya ataupun miskin saling membutuhkan. Orang kaya jangan sombong dan pelit. Begitupun orang miskin harus mau bekerja pada orang kaya. Disitulah akan terjalin kerjasama yang baik.

Hari Kamis disebut “nyanding wawangi.” Intinya, para siswa diberikan ruang untuk berekspresi, diperkenalkan dan diajari seni dan sastra sunda, karena sastra dapat menjadi sarana untuk mengasah nurani, menyalurkan aspirasi, harapan, cita-cita, atau menata ruang kelas secara estetis.

Orang yang suka menulis sastra khususnya puisi akan pandai merasa, bukan merasa pandai. Pandai merasa adalah wujud manusia yang memiliki kepekaan, kepedulian, solidaritas, simpati, dan empati terhadap orang lain. Tidak menjelma menjadi manusia yang egois dan individualitis. Sedangkan merasa pandai adalah manusia yang angkuh, sombong, dan takabur dengan ilmu yang dimilikinya, dan suka merendahkan harkat dan martabat orang lain.

Hari Jumat disebut “Nyucikeun Diri.” Intinya, ada penanaman dan penguatan nilai-nilai religi kepada peserta didik melalui kegiatan membaca Alquran, salat duha, atau tausyiah yang disampaikan oleh guru. Bahkan pada hari-hari selain hari Jumat pun, ada kegiatan pembiasaan berupa membaca Alquran atau surat-surat pendek. Melalui kegiatan ini, diharapkan keimanan dan ketakwaan para siswa dapat ditingkatkan. Dia menyadari bahwa sebagai makhluk Tuhan, tugasnya adalah untuk beribadah kepada-Nya.

Hari Sabtu dan Minggu disebut “betah diimah.” Intinya, siswa memiliki waktu untuk berkumpul bersama dengan orang tua. Hal ini untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas komunikasi  dalam keluarga. Selain itu, anak-anak dapat membantu pekerjaan orang tua di rumah. Guru bahkan dilarang memberikan tugas apapun kepada siswa.

Tujuh hari Atikan Pendidikan Istimewa yang meliputi lima hari di sekolah dan dua hari libur di rumah secara integratif merupakan proses pendidikan dengan mengoptimalkan peran keluarga, sekolah dan masyarakat. Walau pada saat awal-awal diberlakukannya kebijakan ini ada ketidaknyamanan, tetapi setelah diberikan pengertian, pembinaan, dan pengawasan dari Dinas Pendidikan, maka hal ini dapat dilaksanakan oleh sekolah. 

Ketika kegiatan belajar dimulai pukul 06.00, maka guru, orang tua siswa, dan siswa harus bangun subuh. Hal ini positif utamanya bagi siswa untuk membiasakan salat subuh. Orang tua menyiapkan sarapan dan bekal bagi anaknya, karena anak dilarang jajan di lingkungan sekolah. Hal ini bertujuan untuk mendidik siswa hidup hemat dan menghindarkan mereka dari jajanan yang tidak sehat. Selain itu, juga melatih kebersamaan dan solidaritas, karena mereka bisa makan bersama dan saling berbagi makanan.

Dalam konteks pengajaran agama, agar kegiatan ini berjalan efektif dan diberikan oleh ahlinya, maka Dinas Pendidikan membuka seleksi penerimaan guru agama yang akan mengajar di sekolah-sekolah. Dengan demikian, maka manajemennya lebih tertata dan secara profesionalisme dapat dipertanggungjawabkan.

Kegiatan lima hari sekolah di Purwakarta tidak terlalu mengundang kontroversi karena maksimal hanya dilaksanakan sampai dengan pukul 14.00. Hal ini tetap memberikan ruang kepada siswa untuk dapat membantu orang tua di rumah dan mengaji. Bahkan, sebagai bagian dari pendidikan kecakapan hidup (life skill) dan sebagai syarat kenaikan kelas, siswa laki-laki wajib memelihara hewan ternak dan siswa perempuan harus bisa keputrian seperti memasak, menjahit, menenun, atau menyulam.

Dalam rangka membangun kepedulian terhadap lingkungan, siswa pun diwajibkan menanam pohon keras. Dalam rangka mengenal pekerjaan dan menghormati jasa-jasa orang tua, sebulan sekali, anak diwajibkan untuk ikut atau membantu pekerjaan orang tua atau yang disebut sebagai pendidikan vokasional.

Berbagai kegiatan tersebut dilakukan dalam bingkai pendidikan karakter. Oleh karena itu, Saya kira model lima hari sekolah di Purwakarta bisa menjadi contoh atau rujukan Kemdikbud dalam menjalankan program serupa. Menurut saya, itu win-win solution. Di satu sisi program lima hari sekolah bisa berjalan, dan disisi lain, hak-hak anak untuk berinteraksi dengan lingkungan tetap terjamin, orang tua siswa tetap bisa dibantu dan aktivitas pengajian di kampung-kampung dapat tetap berjalan. Wallaahu a’lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun