Mohon tunggu...
idhamstory
idhamstory Mohon Tunggu... Konten Kreator

Saya Eko Idham, Penulis pemula yang bermimpi untuk mejadi penulis hebat dan bisa memberikan manfaat banyak kepada orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kehilangan Yang Tak Pernah Tergantikan

7 Mei 2025   11:30 Diperbarui: 7 Mei 2025   11:39 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kehilangan Yang Tak Pernah Tergantikan"

Suatu hari, hiduplah seorang anak laki-laki dari salah satu desa di Sumatera Selatan. Dengan Ayah yang berdarah Sumatera dan Ibu yang berdarah Sunda. Mereka dipertemukan dengan satu pekerjaan yang sama. Bermula saat mereka saling menatap dan saling menyapa, hingga waktu mempersatukan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan. Tak perlu waktu lama untuk mereka mendapatkan suatu anugerah dari Sang Maha Pencipta yaitu mendapatkan karunia seorang anak laki-laki yang menjadi buah hati kedua keluarga besar. Dengan kehidupan yang serba sederhana tanpa ingin dikasihani bantuan orangtua, Ayah dan Ibu menjalani hidup dan membesarkan anak laki-laki pertamanya dengan suka cita.

Aku Kaka, anak laki-laki pertama yang dibesarkan dari dua keluarga besar yang berbeda budaya dan paham tradisi. Sewaktu kecil banyak impian dan harapan yang ingin aku capai dikemudian hari. Mulai dari cita-cita ingin menjadi arsitek hingga membayangkan menjadi orang sukses yang bisa membantu banyak orang, terkhusus membahagiakan kedua orang tua. Masa kecil yang serba berkecukupan, membuatku tenang-tenang saja menjalani kehidupan ini. Apa yang aku inginkan bisa dengan mudah dikabulkan oleh kedua orangtua maupun oleh kakek dan nenek. Maklum saja, aku anak pertama dari kedua orangtua yang juga anak pertama di keluarganya masing-masing.

Menginjak pada tahun ke enam aku mulai masuk sekolah dasar, yang dimana aku masuk salah satu sekolah paling favorit di kota saat itu. Rasa senang dan bangga hinggap dibenakku namun juga sedikit ada rasa takut karena persaingan antar siswa yang sangat ketat. Aku yang tidak terlalu pintar dalam hal pelajaran, sedikit berkecil hati dengan melihat siswa lain yang masuk sekolah favorit itu dengan membawa beberapa prestasi pribadinya. Dengan bermodalkan semangat dan tekad yang kuat, aku yakin bisa mengimbangi teman-teman di sekolah. Perlahan aku mulai sedikit menyisihkan waktu lebih ketika pulang sekolah, untuk mengulas kembali pelajaran sekolah. Tak hanya pelajaran sekolah saja yang aku pelajari, namun keterampilan lain pun mulai aku asah didampingi oleh kedua orangtua. Kesenian adalah pilihan pertamaku untuk mengembangkan potensi diri dan selanjutnya ilmu teknik informatika yang diajarkan langsung oleh ayahku.

Hari-hari terasa menyenangkan saat semua berjalan sesuai yang kita harapkan. Saat semua yang kita inginkan bisa dapat segera dikabulkan. Namun berjalannya waktu kita akan tumbuh menjadi dewasa, tumbuh menjadi manusia yang mempunyai tanggungjawab lebih daripada sebelumnya. Hingga suatu hari ayahku jatuh sakit dan tak bisa melakukan aktifitas seperti biasanya, yang dimana berjalanpun harus dituntun. Aku yang setiap harinya menemani ayahku untuk berbincang-bincang, kala itu tepat pukul satu siang dihari minggu - ayahku terbaring lemas dipangkuanku. Tidak ada nada bicara yang keluar dari mulutnya, yang terlihat hanya muka pucat yang dibalut dengan ekspresi menahan rasa sakit.

Melihat keadaan ayahku yang semakin lemas, aku mulai membaringkannya di atas kasur dan karena merasa panik lalu aku memanggil ibu dan adikku. Saat itu usiaku yang beranjak sembilan tahun mempunyai dua adik yang masih sangat kecil. Kami berkumpul dan saling memeluk satu sama lain diatas kasur yang dimana ayahku terbaring lemas. Tak lama setelah itu ayah berbisik kepadaku, "jaga ibu dan adik-adikmu ya ka", spontan aku pun merasa gamang dengan perkataan ayahku itu yang seakan sudah pasrah dalam keadaannya yang terbaring terbujur kaku. Melihat ibu yang juga seolah pasrah dengan keadaan ayah saat itu, dengan besar hati ibu mengucapkan kalimat "La Ilaha Illallah Muhammadurrasulullah" di dekat telinga ayah, lalu kami anak-anaknya pun ikut melantunkan kalimat itu. Dengan muka berseri seakan tidak ada beban rasa sakit lagi yang diderita ayah, saat itu juga ayah menghembuskan nafas terakhir untuk selama-lamanya.

Ayah adalah salah satu alasanku untuk terus mengembangkan diri. Kini hanya tinggal Ibu satu-satunya alasanku untuk terus hidup dan berjuang menjadi anak yang bisa membahagiakan orangtua dan adik-adiknya. Tak peduli rintangan apa yang akan dihadapi kedepan, aku adalah anak pertama yang harus kuat dan bermental baja agar kelak masa depan adik-adikku tidak suram dan Ibu bisa tersenyum bahagia melihat kesuksesan anak-anaknya. Do'akan kami anak-anakmu bu.

"Umur hanyalah angka, manusia di dewasakan oleh pengalaman dan rasa sakit".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun