Mohon tunggu...
Dhilal Ahmad
Dhilal Ahmad Mohon Tunggu... Buruh - Tidak Ada Keterangan

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Malaikat Menamparku

10 Juni 2019   22:19 Diperbarui: 11 Juni 2019   07:51 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo : by Zoroo (devianart.com)

Semilir angin yang menjamah halus jendela kecil mesjid tua itu nampaknya sudah tak lagi sudi mengelus - elus ketidak-karuanku. Sungguh, ini tidak mudah. Aku benar - benar berantakan. Gelas yang diberikan kakek bersorban hijau itu tak sengaja pecah terhantam tanganku yang tak bisa diam seperti binatang buas yang dikurung saja. Secepatnya, aku bergegas meninggalkan mesjid walau dengan arah yang bias, jalan raya yang pudar, aku berlari sempoyongan menghantam setiap penghalang; Pohon, tiang bahkan jendela rumah orang menyertai setiap goresan luka yang terukir di beberapa bagian tubuhku. Itu adalah perjalanan yang teramat panjang, dan serpihan kaca yang bersemayam di kepala dan tanganku masih menyertai setiap langkahku menelusur jalan yang entahlah, sepertinya buntu. Ingatanku rusak di terjang tekanan yang juga entah dari mana asalnya.

Dan ahh kini aku sedikit siuman. Aku ingat itu adalah malam ke-23 di bulan suci Ramadhan, dan saat itu aku tengah berdiri tepat di depan warung merah tua milik seorang paruh baya, di sampingnya tersedia kursi agak panjang berkaki kayu keropos dan meja yang juga telah berusia senja. Tak jauh dari warung tersebut, ada sekerumunan laki - laki yang sedang duduk - duduk di kursi sofa. Tapi tunggu, "halaman rumah siapa itu?"

Dan mereka yang duduk - duduk itu menggemakan jenis binatang. Anjing misalnya. Sedang, disitu tak kujumpai satu pun anjing. Pun, ketika aku cukup lama menengok kiri dan melirik kanan tak kujumpai seekor pun anjing, dan tak ada seorang pun kawannya yang setidaknya memiliki wajah agak mirip binatang.

"Ini rokoknya de". Ibu pemilik warung itu mengulurkan beberapa batang rokok kretek yang sebelumnya sudah ku bayar. Kau tau? ternyata pemilik warung itu juga seorang perokok. Dan dia menjual beberapa varian air keras. Mulai dari harga 50rban hingga jutaan.

Mataku masih dituntun rasa penasaran dan terpusat tepat pada segelas air yang berada di atas meja yang menghadap ke sekumpulan laki - laki berumur kira - kira 17-19 tahun itu. Di antara mereka ada yang menggunakan sarung dan peci putih. Aura mereka kala itu telah menggigit lututku kencang sampai gemetar, namun langkah kaki ku masih lancang mendekati para remaja itu. Aku yakin dalam gelas itu bukanlah air biasa. Dan aku yakin mereka sedang tidak di jalan yang baik menurut agamaku. Baiklah aku katakan saja, mereka sedang berlaku bejat, melanggar hukum tuhan. Padahal bukankah semua hukum yang tuhan buat itu untuk kebaikannya sendiri? cobalah renungi, mana efek yang lebih dominan timbul ketika kau menerobos hukum tuhan semacam maksiat? atau meminum arak misal? Baik atau buruk? Ahh aku hanya tak mau ini menjadi suatu sudut pandang sepihak. Namun siapa yang akan menjawab pertanyaan ku? Aku hanya sedang berdialog dengan diriku sendiri.

Aku menyalakan rokok seraya masih seolah mengintai mereka, sebetulnya bukan mengintai, aku hanya ingin tahu lebih rinci apa yang sedang mereka kerjakan. Jiwa - jiwa itu seakan tak tenang, dengan gelagat risih, bahkan seperti yang ingin berontak atau berperang. Matanya merah, hatinya marah. Satu persatu mereka bergiliran meneguk gelas itu. Setelah itu dahiku tiba - tiba menyusun keringat dingin bersamaan dengan hembusan angin yang seakan melumpuhkan tubuhku, aku benar - benar merasa lemah, energiku terhempas, rokok di tanganku terlepas, dan setelah itu seluruh tubuhku jatuh tergeletak di atas jalan mungil yang berkerikil.

Astagaa, aku larut dalam ingatan itu, untung saja jalan raya ini sedang sepi. Dan sungguh, aku masih belum menemui akhir dari malam yang bajingan ini. Masih gelap dan menyeramkan, namun aku sudah tidak berlari, kini sepasang kaki yang telanjang ini membimbingku perlahan ke suatu gerombolan orang di persimpangan jalan didepan gedung kusam yang temboknya tampak dipenuhi tulisan, mungkin itu graffity. Tapi jika benar, itu adalah graffity yang paling mengangguku. Manusia mana yang telah mengotori tembok - tembok ini? mereka telah semena - mena mengikis kualitas tempat ini dan apalagi, lihatlah kalimat - kalimat kasar yang mereka tulis di gedung abu itu, bagiku itu telah menunjukan bahwa si pengotor tembok ini tak lebih hanyalah berandal dan cikal bakal penganut premanisme (vrijman dalam bahasa belanda) yang sok jago, sok kuat dan ah sudahlah.. atau mungkinkah mereka ini titisan bangsa vandal di zaman romawi kuno?" Tidak, itu terlalu kejauhan.

Baiklah, lupakan soal tembok itu, karena setidaknya penglihatanku saat ini tidak separah tadi. Walaupun sebetulnya aku lagi - lagi tak mengerti mengenai semua yang telah kulalui tadi dan ingatanku tidak sedang baik - baik saja, bahkan kini aku tak ingat awal terjadinya malam yang tengah ku hadapi ini. dan oh tidak.. kakiku tiba - tiba menghantam lagi sesuatu, botol miras!! Dan semua botol yang tak sengaja aku hantam itu pecah, lantas kepingannya menebas telapak kaki kananku, dan itu membuatnya berdarah - darah cukup deras. Kepalaku pusing, sepertinya ini akibat darah merah pekat yang terus menerus bercucuran ini. Belum lagi di kepala, tangan dan beberapa bagian tubuh lain.

Lagi - lagi aku tenggelam dalam ketidaksadaran, ketakutan dan rasa penasaran yang masih menimbun kepalaku. Aku hanya menghirup pekat dan memandang gelap selama satu minggu, atau mungkin satu jam atau boleh jadi satu hari. Aku tidak benar - benar mengetahuinya.

"Hey hey, ini minum dulu"

Dengan mata setengah terbuka, aku lihat seorang pak tua menyodorkan air putih padaku, aku bangun dari tidur, dan aku kira kekacauan dan rasa lemas tadi seketika musnah, suasananya sedikit hening, hanya bunyi langkah jarum jam yang diiringi lantunan pelan nan merdu ayat suci alquran, dan suara orang yang sedang berdzikir. Diluar, kudengar ada suara gesekan sandal yang boleh jadi bersumber dari seseorang yang hendak masuk ke ruangan ini. Sungguh ini tak dapat ku pahami, aku rupanya telah kembali lagi ke mesjid itu. Tapi aku senang.

Kiranya semua masalah yang sedang aku hadapi akan luluh lantah diterjang bunyi - bunyi ayat suci yang sedang kudengar, benar - benar pelan, menelan satu per satu rasa bimbang yang aku kantongi. Kakek bersorban hijau itu mengelus - elus rambutku yang berantakan, ia mengambil sarung berwarna abu - abu muda dengan motif kotak - kotak dan memberikannya kepadaku tanpa sepatah kata pun.

Tapi, setelah itu kepalaku seperti ditendang sangat kencang, mungkin ini terlalu berlebihan, tapi seperti itulah, penglihatanku kabur, dan semua gambar yang terekam dalam mata ku menjadi buram melebihi jenis film 144p bahkan.

Tiba - tiba kudengar suara entakan kaki, meriam atau mungkin bom, dan bunyi - bunyi peluru yang menembus pintu rumah di sekitar sana, seperti itulah aku membayangkannya. Tapi, aku tak bisa meyakinkan mengenai apa jenis senjata dan jenis kelompok manusia yang malah bermain senjata api dan bom di bulan yang suci ini. Seketika, aku berfikir bahwa itu adalah Nazi. Aku pernah mendengar kabar bahwa hitler membenci rokok dan bahkan kelompoknya kerap kali menerbitkan jurnal advokasi anti rokok. Apa hitler ingin membunuh perokok sepertiku? Apa kelompoknya akan mencekik leherku dan menghancurkan kepalaku dengan berkali - kali tembakan? Akankah kulitku ia buat untuk menyeka senjatanya agar senantiasa mengkilap? Ya tuhanku, aku benar - benar tak ingin mati sekarang.

"Bangsaatt". salah seorang dari mereka berteriak, dengan mimik wajah yang murka, tapi dia tidak menggunakan seragam Nazi. Bodohh, aku baru sadar bahwa hitler sudah lama mati. Ini bukan hitler dan gerombolannya, mereka hanya pemuda yang sedang asyik menatap tajam layar handphone nya. Kurasa mereka sedang bermain game, baiklah ini tak perlu terlalu aku hiraukun, bukankah hiburan itu memang watak yang manusiawi?

"Anjiingg". Ada lagi yang berteriak, seperti kesakitan, padahal dia sedang duduk santai, tapi memang tubuhnya melambangkan ketidaksantaian, mereka menderita. Yang menjadikannya tidak lazim, ini adalah malam dimana orang - orang sedang berburu Lailatul Qadar (satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan)

Sementara itu, ketika aku melirik ke arah lain, tepatnya di rumah berwarna biru muda. Ada lagi segorombolan pria yang sedang duduk melingkar, memutarkan gelas berisi tuak. Mereka tertawa keras seakan air tuak itu bisa mengantarnya ke suatu kebahagiaan yang absolut. Dan sama, mereka juga menggemakan nama anjing dan babi. Aku heran, sebetulnya pernahkah dia berpikir mengapa harus melakukan perbuatan semacam itu?

Dan tak lama, kudengar gema takbir di setiap sudut gelap wilayah itu, sepertinya besok adalah idul fitri. Dan bersamaan dengan itu aku baru terasadar bahwa aku sudah melewati beberapa hari semenjak aku tergeletak di warung tukang rokok itu. Namun, nuansanya tetap sama; Suara anjing, bangsat, babi dan minuman keras. Dan ah... kepalaku kembali pusing, pecahan kaca dihidung dan mataku kembali menyalurkan rasa sakit yang benar - benar membuatku resah. Aku ingin menangis dan berteriak kencang, sungguh.

Saat itu, terbesit dibenakku untuk mengajak mereka setidaknya meluangkan waktu satu kali saja ke mesjid dan membaca alquran. Atau paling tidak mereka mengucap solawat untuk sang nabi, atau melantunkan takbir dalam satu putaran saja, atau sekedar datang ke mesjid! Sekali saja, bersamaku.

Namun boleh jadi mereka sudah sekian kali menolak untuk membaca al-quran, dan mereka telah berbulan - bulan menjadikan kitab sucinya hanya sebagai pajangan. Bahkan bertahun - tahun? atau baru satu tahun? atau 5 tahun? atau lebih?

Aku benar - benar telah suudzon pada makhluk berlabel paling mulia itu, tapi sudahlah aku tak peduli.

Aku benar - benar seperti mengalami gejala sakit vertigo saja, lagi - lagi aku berlari tak karuan dikemas rasa depresi yang sudah maximal. Dan lagi - lagi kerumunan orang yang mabuk - mabukan, bahkan bercumbu dengan pasangannya di beberapa mobil mewah yang diparkir dipinggir jalan, anak - anak muda yang kasar, wanita - wanita sexy yang dengan bangga membagikan lekukan tubuhnya, mungkin mereka pikir itu akan menarik perhatian, cinta dan pengakuan positif, padahal.. baiklah silahkan nilai sendiri. Sungguh, masih lebih banyak yang mabuk - mabukan daripada takbiran menjelang hari raya. Sebetulnya, aku bisa saja meludahi mereka beberapa kali, tapi aku tidak percaya diri, aku rasa itu perbuatan sok suci dan aku merasa tidak perlu melakukan itu.

Sebenarnya apa yang harus aku lakukan? padahal tuhan mengatakan "suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman: 17). Aku ingat ayat ini, dulu aku sempat mengaji hingga usia 11 tahun. Dan ayat ini kerap kali aku dengar dari guru ngajiku. Artinya, aku tak perlu takut dikatakan sok suci dan ini adalah suatu kewajiban. Baiklah nanti aku akan cegah makhluk - makhluk itu. Tapi mengapa harus nanti? Apa alasan tuhan untuk tidak mengambil nyawaku satu jam lagi? Bahkan aku bisa mati sepuluh menit lagi. Tapi aku benar - benar tak sanggup berkata - kata pada mereka.

Aku kembali melanjutkan perjalanan hingga tiba di suatu pertigaan, gedung - gedung yang ada disitu terlihat kumuh, lampu lalu lintas di depanku menyala dan berwarna merah semua. Setiap sudut adalah gulita dan satu - satunya cahaya hanya lampu lalu lintas di atasku.

"Woi anjingg" tiba - tiba aku melihat kira - kira ada sepuluh orang yang berlari ke arahku. Aku hanya terpaku, seluruh badanku guncang dan bahkan hampir saja aku kencing di celana jeans robek - robek kesayanganku ini. Ada yang membawa palu, kayu bahkan pisau. Mulutku hanya membeku, aku ingin berdoa jika memang ini hari kematianku, tapi sungguh sedikitpun aku tak bisa bergerak. Hanya air mata yang kian menggenang di wajahku. Aku ingin menyebut nama tuhanku, aku ingin meminta maaf pada orang tuaku.

Mereka semakin mendekat, dua buah pisau dilemparkan ke arah dadaku. Kayu dan palu bergantian menghantam mata, kepala dan hingga seluruh tubuhku, aku masih tak bisa berucap. Aku hanya menangis dan menangis dan menangis. Darah - darah merah kental keluar seenaknya dari tangan, punggung, leher, perut hingga kepalaku.

"Ini adalah seni dari lorong neraka. Anggap saja ini pemanasan menjelang di lemparkannya kau ke alam kubur yang penuh akan nestapa, bukankah kau tak anggap tuhan ada? bukankah kau orang pemberani? seorang jagoan yang sudah terbiasa menantang hukum tuhan?"

Aku disiksa hingga jatuh bangun, sepatu yang mereka pakai menghujam keras kepalaku, aku terhempas, terjatuh dan bangkit lagi, lalu terjatuh lagi, bangun lagi dan kini aku kesulitan untuk bangun, tapi aku masih ingin hidup, aku masih berusaha untuk bangun lagi, Teriakanku keras sekali tertimbun dalam sanubari. Tangisanku benar - benar telah pada titik sempurna. Semua bagian tubuhku telah lumpuh. Semua energiku lenyap. Dan tiba - tiba aku terbangun lagi dengan penglihatan yang benar - benar buram, aku kira ini gejala kebutaan, tapi seketika penglihatanku membaik, aku melihat meja belajar, lemari dan jendela yang terbuka, ini masih malam hari dan ini adalah kamar tidurku.

Brengseek, ini hanya mimpi buruk. Tapi tunggu, aku melihat seseorang, atau bukan orang, itu seperti raksasa tapi tidak begitu besar dia membawa tongkat yang tinggi, berpakaian hitam, tapi aku tak dapat melihat secara jelas wajahnya, lampu di kamar tidurku mati yang tersisa tinggal cahaya di halaman rumah.

Makhluk itu menghampiriku pelan. "siapa kamu?" dia bertanya padaku.

"Jelaskanlah dengan tuntas tentang dirimu", nadanya menjadi tinggi, seperti orang yang murka.

"Aku? .. Aku seorang remaja yang .. anti ke mesjid, aku tak pernah merenungi siapa yang nanti akan menyalatkan jasadku, menguburkan dan memandikanku. Ketika aku ..

"Bodoh.. Padahal mereka yang biasa dimesjid lah yang umumnya mengerti tata caranya, dan adakah yang sudi menggotong jenazahmu kelak? dan apakah teman - temanmu yang pemabuk yang jagoan itu akan mendoakan mu? Apa mereka akan ikut menyalatkanmu? Memandikan jenazahmu?" Makhluk itu memotong perkataan ku, lalu dia kembali menyuruhku melanjutkan.

"Ketika adzan berkumandang, aku tak pernah membaca doa setelahnya, bahkan aku seringkali kesal mendengarnya, kadang aku adalah sesungguhnya penjahat bagi para perempuan, ketika semua itu kulakukan aku tak pernah merenungi bagaimana jadinya jika orang tuaku mengetahuinya, aku tak takut dengan tuhan, aku membohongi diriku sendiri. Sembunyi - sembunyi membeli sebotol minuman dan meneguknya dengan bangga, setiap kali aku mabuk, aku merasa semua orang dapat aku ajak untuk berkelahi, dan ketika aku mabuk, aku rasa semua orang takut pada ku dan aku senang ketika melihat orang - orang seperti itu.

"Aku hanya berpuasa 4-5 kali setiap tahunnya, ketika malam takbir tiba, itulah puncak kemenangan bagi kemaksiatan, aku tak memperdulikan hukum tuhan, siksa kubur, siksa neraka dan aku tak malu pada Allah SWT yang telah memberiku hidup dan harta yang tak terhingga yang biasa ku perbelikan untuk membeli barang haram. Aku biasa berkumpul di pinggir jalan, berteriak, kadang kala aku berkelahi walau entah untuk apa, aku rasa itu sebuah kebanggaan tersendiri agar nantinya menjadi suatu afirmasi dari orang lain bahwa aku adalah jagoan, aku kuat, aku berani dan aku tukang mabuk, kadang aku mengotori tembok rumah milik orang. Yaallah ini gila.. aku benar - benar seperti itu, aku tak pernah merenungi kematianku kelak. "Tapi sebenarnya siapa kamu?" Tanyaku pada makhluk itu. "Apa kau ini malaikat? Apa aku akan benar - benar mati kali ini? ".

"Dan apa bedanya aku dengan binatang yang hanya memilih mengikuti kesenangan yang benar - benar tabu dengan mengesampingkan hukum - hukum agama, moral dan kesehatan". Ini gila, tapi sesungguhnya penyesalanku biasanya tak utuh, ini hanya selintas. Esok hari aku mungkin akan melakukan perbuatan bejat itu lagi.

Tunggu, mana makhluk tadi? Yaampun, dia kini lari ke arahku cepat sekali, bersama jubah hitamnya, wajahnya masih belum nampak jelas, dia menamparku sangat kencang, tiba - tiba gelap lagi, hanya tangan makhluk itu yang terlihat, dia menamparku lagi, mengangkat tongkatnya dan memukulkannya ke arah mata kananku. Sakit sekali, dengan keadaan yang tersiksa ini aku berpikir bahwa dia ini Izrail.

Dia menjambak rambutku dengan penuh amarah, aku harus segera menyebut nama Tuhanku, tapi tak bisa, lidahku seperti kelu. Sekujur tubuhku dingin, mungkin hanya tinggal leherku yang masih kurasa hangat, lalu setelah itu aku sedikit bisa membuka mulut, dan kini aku membukanya lebar, aku berteriak menyebut nama Tuhanku. "Ya Allah....." Aku berteriak, sangat keras, bersama tangisan yang juga deras, sebetulnya diriku tak seperti yang dalam mimpi itu, namun aku beberapa kali hampir saja terjerumus ke dalam lingkaran orang - orang semacam itu. Aku bangkit dari kasur tidurku dan kini aku benar - benar bangun dari kedua mimpi itu, Sesungguhnya ini bukan sekedar mimpi. Ini tamparan bagiku, mungkin boleh jadi Malaikat sedang menamparku lewat mimpi tadi. Entahlah..

Ini suatu peringatan bagiku yang masih saja bergelut dengan kefanaan. Padahal dibulan suci kemarin, Tuhan melimpahkan demikian banyak rahmat dan keberkahan. Ya Allah, aku harap mimpi tadi adalah tanda kasih dan sayang darimu. Aku menyesal, saat bulan suci sedang menjengukku , tak satupun hari aku pergunakan dengan sebaik mungkin.

Kedua tanganku ini memegang erat kepala yang sebelumnya kukira sudah lembek dan hancur disiksa gerombolan orang tadi, aku benar - benar tidak menyangka bahwa Allah masih memberikanku nyawa, memberiku nikmat hidup, memberi waktu untuk kedua orang tuaku, teman dan keindahan alam yang tak pernah ku rawat. Aku bersujud, memohon ampun.

Aku menggesek mata, duduk dan benar - benar tegang, jantungku berdebar kencang, dan sangat kencang, lagi - lagi air mataku lepas landas tak tertahan. Setidaknya, setelah ini, aku akan sadar dan teramat menyesal, sudah sekian lama Al-quran ku terbengkalai lusuh dan mendekam di dalam lemari kamar, sudah sekian banyak waktuku terbuang tanpa memikirkan bahwa masih teramat kecil amalan - amalan yang ku lakukan, dan sungguh, masih buram pahala yang ku genggam. Dan apa alasan tuhan untuk tidak menyiksa ku dalam kubur? atau dalam neraka-Nya?

Ya Allah, adakah aku masih jadi hambamu? Yallah, maafkan aku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun