Mohon tunggu...
Dhilal Ahmad
Dhilal Ahmad Mohon Tunggu... Buruh - Tidak Ada Keterangan

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Malaikat Menamparku

10 Juni 2019   22:19 Diperbarui: 11 Juni 2019   07:51 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo : by Zoroo (devianart.com)

Aku benar - benar seperti mengalami gejala sakit vertigo saja, lagi - lagi aku berlari tak karuan dikemas rasa depresi yang sudah maximal. Dan lagi - lagi kerumunan orang yang mabuk - mabukan, bahkan bercumbu dengan pasangannya di beberapa mobil mewah yang diparkir dipinggir jalan, anak - anak muda yang kasar, wanita - wanita sexy yang dengan bangga membagikan lekukan tubuhnya, mungkin mereka pikir itu akan menarik perhatian, cinta dan pengakuan positif, padahal.. baiklah silahkan nilai sendiri. Sungguh, masih lebih banyak yang mabuk - mabukan daripada takbiran menjelang hari raya. Sebetulnya, aku bisa saja meludahi mereka beberapa kali, tapi aku tidak percaya diri, aku rasa itu perbuatan sok suci dan aku merasa tidak perlu melakukan itu.

Sebenarnya apa yang harus aku lakukan? padahal tuhan mengatakan "suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)." (QS. Luqman: 17). Aku ingat ayat ini, dulu aku sempat mengaji hingga usia 11 tahun. Dan ayat ini kerap kali aku dengar dari guru ngajiku. Artinya, aku tak perlu takut dikatakan sok suci dan ini adalah suatu kewajiban. Baiklah nanti aku akan cegah makhluk - makhluk itu. Tapi mengapa harus nanti? Apa alasan tuhan untuk tidak mengambil nyawaku satu jam lagi? Bahkan aku bisa mati sepuluh menit lagi. Tapi aku benar - benar tak sanggup berkata - kata pada mereka.

Aku kembali melanjutkan perjalanan hingga tiba di suatu pertigaan, gedung - gedung yang ada disitu terlihat kumuh, lampu lalu lintas di depanku menyala dan berwarna merah semua. Setiap sudut adalah gulita dan satu - satunya cahaya hanya lampu lalu lintas di atasku.

"Woi anjingg" tiba - tiba aku melihat kira - kira ada sepuluh orang yang berlari ke arahku. Aku hanya terpaku, seluruh badanku guncang dan bahkan hampir saja aku kencing di celana jeans robek - robek kesayanganku ini. Ada yang membawa palu, kayu bahkan pisau. Mulutku hanya membeku, aku ingin berdoa jika memang ini hari kematianku, tapi sungguh sedikitpun aku tak bisa bergerak. Hanya air mata yang kian menggenang di wajahku. Aku ingin menyebut nama tuhanku, aku ingin meminta maaf pada orang tuaku.

Mereka semakin mendekat, dua buah pisau dilemparkan ke arah dadaku. Kayu dan palu bergantian menghantam mata, kepala dan hingga seluruh tubuhku, aku masih tak bisa berucap. Aku hanya menangis dan menangis dan menangis. Darah - darah merah kental keluar seenaknya dari tangan, punggung, leher, perut hingga kepalaku.

"Ini adalah seni dari lorong neraka. Anggap saja ini pemanasan menjelang di lemparkannya kau ke alam kubur yang penuh akan nestapa, bukankah kau tak anggap tuhan ada? bukankah kau orang pemberani? seorang jagoan yang sudah terbiasa menantang hukum tuhan?"

Aku disiksa hingga jatuh bangun, sepatu yang mereka pakai menghujam keras kepalaku, aku terhempas, terjatuh dan bangkit lagi, lalu terjatuh lagi, bangun lagi dan kini aku kesulitan untuk bangun, tapi aku masih ingin hidup, aku masih berusaha untuk bangun lagi, Teriakanku keras sekali tertimbun dalam sanubari. Tangisanku benar - benar telah pada titik sempurna. Semua bagian tubuhku telah lumpuh. Semua energiku lenyap. Dan tiba - tiba aku terbangun lagi dengan penglihatan yang benar - benar buram, aku kira ini gejala kebutaan, tapi seketika penglihatanku membaik, aku melihat meja belajar, lemari dan jendela yang terbuka, ini masih malam hari dan ini adalah kamar tidurku.

Brengseek, ini hanya mimpi buruk. Tapi tunggu, aku melihat seseorang, atau bukan orang, itu seperti raksasa tapi tidak begitu besar dia membawa tongkat yang tinggi, berpakaian hitam, tapi aku tak dapat melihat secara jelas wajahnya, lampu di kamar tidurku mati yang tersisa tinggal cahaya di halaman rumah.

Makhluk itu menghampiriku pelan. "siapa kamu?" dia bertanya padaku.

"Jelaskanlah dengan tuntas tentang dirimu", nadanya menjadi tinggi, seperti orang yang murka.

"Aku? .. Aku seorang remaja yang .. anti ke mesjid, aku tak pernah merenungi siapa yang nanti akan menyalatkan jasadku, menguburkan dan memandikanku. Ketika aku ..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun