Mohon tunggu...
Dhilal Ahmad
Dhilal Ahmad Mohon Tunggu... Buruh - Tidak Ada Keterangan

:)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Malaikat Menamparku

10 Juni 2019   22:19 Diperbarui: 11 Juni 2019   07:51 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo : by Zoroo (devianart.com)

Dengan mata setengah terbuka, aku lihat seorang pak tua menyodorkan air putih padaku, aku bangun dari tidur, dan aku kira kekacauan dan rasa lemas tadi seketika musnah, suasananya sedikit hening, hanya bunyi langkah jarum jam yang diiringi lantunan pelan nan merdu ayat suci alquran, dan suara orang yang sedang berdzikir. Diluar, kudengar ada suara gesekan sandal yang boleh jadi bersumber dari seseorang yang hendak masuk ke ruangan ini. Sungguh ini tak dapat ku pahami, aku rupanya telah kembali lagi ke mesjid itu. Tapi aku senang.

Kiranya semua masalah yang sedang aku hadapi akan luluh lantah diterjang bunyi - bunyi ayat suci yang sedang kudengar, benar - benar pelan, menelan satu per satu rasa bimbang yang aku kantongi. Kakek bersorban hijau itu mengelus - elus rambutku yang berantakan, ia mengambil sarung berwarna abu - abu muda dengan motif kotak - kotak dan memberikannya kepadaku tanpa sepatah kata pun.

Tapi, setelah itu kepalaku seperti ditendang sangat kencang, mungkin ini terlalu berlebihan, tapi seperti itulah, penglihatanku kabur, dan semua gambar yang terekam dalam mata ku menjadi buram melebihi jenis film 144p bahkan.

Tiba - tiba kudengar suara entakan kaki, meriam atau mungkin bom, dan bunyi - bunyi peluru yang menembus pintu rumah di sekitar sana, seperti itulah aku membayangkannya. Tapi, aku tak bisa meyakinkan mengenai apa jenis senjata dan jenis kelompok manusia yang malah bermain senjata api dan bom di bulan yang suci ini. Seketika, aku berfikir bahwa itu adalah Nazi. Aku pernah mendengar kabar bahwa hitler membenci rokok dan bahkan kelompoknya kerap kali menerbitkan jurnal advokasi anti rokok. Apa hitler ingin membunuh perokok sepertiku? Apa kelompoknya akan mencekik leherku dan menghancurkan kepalaku dengan berkali - kali tembakan? Akankah kulitku ia buat untuk menyeka senjatanya agar senantiasa mengkilap? Ya tuhanku, aku benar - benar tak ingin mati sekarang.

"Bangsaatt". salah seorang dari mereka berteriak, dengan mimik wajah yang murka, tapi dia tidak menggunakan seragam Nazi. Bodohh, aku baru sadar bahwa hitler sudah lama mati. Ini bukan hitler dan gerombolannya, mereka hanya pemuda yang sedang asyik menatap tajam layar handphone nya. Kurasa mereka sedang bermain game, baiklah ini tak perlu terlalu aku hiraukun, bukankah hiburan itu memang watak yang manusiawi?

"Anjiingg". Ada lagi yang berteriak, seperti kesakitan, padahal dia sedang duduk santai, tapi memang tubuhnya melambangkan ketidaksantaian, mereka menderita. Yang menjadikannya tidak lazim, ini adalah malam dimana orang - orang sedang berburu Lailatul Qadar (satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan)

Sementara itu, ketika aku melirik ke arah lain, tepatnya di rumah berwarna biru muda. Ada lagi segorombolan pria yang sedang duduk melingkar, memutarkan gelas berisi tuak. Mereka tertawa keras seakan air tuak itu bisa mengantarnya ke suatu kebahagiaan yang absolut. Dan sama, mereka juga menggemakan nama anjing dan babi. Aku heran, sebetulnya pernahkah dia berpikir mengapa harus melakukan perbuatan semacam itu?

Dan tak lama, kudengar gema takbir di setiap sudut gelap wilayah itu, sepertinya besok adalah idul fitri. Dan bersamaan dengan itu aku baru terasadar bahwa aku sudah melewati beberapa hari semenjak aku tergeletak di warung tukang rokok itu. Namun, nuansanya tetap sama; Suara anjing, bangsat, babi dan minuman keras. Dan ah... kepalaku kembali pusing, pecahan kaca dihidung dan mataku kembali menyalurkan rasa sakit yang benar - benar membuatku resah. Aku ingin menangis dan berteriak kencang, sungguh.

Saat itu, terbesit dibenakku untuk mengajak mereka setidaknya meluangkan waktu satu kali saja ke mesjid dan membaca alquran. Atau paling tidak mereka mengucap solawat untuk sang nabi, atau melantunkan takbir dalam satu putaran saja, atau sekedar datang ke mesjid! Sekali saja, bersamaku.

Namun boleh jadi mereka sudah sekian kali menolak untuk membaca al-quran, dan mereka telah berbulan - bulan menjadikan kitab sucinya hanya sebagai pajangan. Bahkan bertahun - tahun? atau baru satu tahun? atau 5 tahun? atau lebih?

Aku benar - benar telah suudzon pada makhluk berlabel paling mulia itu, tapi sudahlah aku tak peduli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun