Mohon tunggu...
Ida Mursyidah
Ida Mursyidah Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Anak Usia Dini

Ibu guru yang gemar membaca, bahkan membaca segala kemungkinan terburuk, untuk menyiapkan mental. Senang menulis, walaupun belum pernah menulis buku solo dan tak akan mampu menulis takdir sendiri. Suka menyimak, meskipun suara hati kecil sering terabaikan. Kadang berbicara, jika memang waktunya tiba dan membawa manfaat bagi yang mendengar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nostalgia lewat Tulisanmu

26 Mei 2021   16:44 Diperbarui: 29 Mei 2021   18:06 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Duh, mbak Erni.

Tulisan anda tentang ragam koleksi barang kesayangan mbak sungguh membuat saya terhibur. Terutama tentang koleksi perangko.

Mungkin mbak tidak membayangkan bahwa lewat tulisan mbak Erni itu angan saya termanjakan dengan nostalgia tentang sosok bapak yang saya rindukan dan masa kecil bersama bapak yang luar biasa indah.

Bapak saya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang berkantor di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kami sekeluarga tinggal di daerah Kebagusan Besar, Pasar Minggu. 

Setiap hari bapak berangkat dan pulang kerja naik motor Vespa andalannya berwarna abu-abu gelap. Bapak bekerja sebagai karyawan bagian keuangan, sepertinya. 

Yang paling saya ingat adalah salah satu tugasnya setiap menjelang tanggal gajian, seperti menghitung dan membagi-bagikan uang ke amplop masing-masing karyawan. 

Kemudian saya ingat juga bahwa atasan bapak bernama bu Lugiman, yang seorang ekspatriat berdarah Jerman. Jadi nama Lugiman tak lain adalah nama suami si ibu. 

Bisa dikatakan setiap seminggu sekali bapak pulang membawa segepok amplop kosong. Ya. Amplop yang sudah tidak ada isinya. Yang pasti saya sambut tumpukan amplop kosong itu dengan perasaan senang luar biasa karena amplop tersebut masih berperangko. 

Perangko yang biasa saya dapat beragam jenisnya; perangko kecil mungil-mungil hingga yang besar berbentuk persegi panjang, bergambar sosok pahlawan atau tokoh bangsa sendiri maupun sosok anggun berpenampilan ratu atau putri khas negeri dongeng karena perangko yang berasal dari luar negeri.  

Ada perangko yang bergambar hewan, seperti kupu-kupu, pemandangan dan lanskap terkenal lengkap dengan nama negara asal. Yang saya ingat waktu itu, di antara 3 bersaudara, hanya saya yang antusias menyambut amplop-amplop yang bapak bawa pulang. Mungkin karena kakak saya yang laki-laki tidak menganggap mengurus amplop dan perangko itu menarik untuk dilakukan. 

Sementara adik perempuan saya sebatas mengagumi penampilan perangko-perangko yng sudah selesai ditata di dalam album. Dan tahap ini benar-benar tahap terakhir dari proses panjang perlakuan terhadap tumpukan amplop dari kantor bapak. 

Perangko-perangko  masih harus dipisahkan dari amplop-amplop dengan cara merendam amplop di dalam air yang ditampung dalam  wadah seperti mangkuk atau baskom. 

Bagian yang agak riskan bagi anak-anak seperti saya pada waktu itu yang baru berusia sekitar 5 tahunan. Saya harus berlatih menaksir waktu yang dibutuhkan untuk membuat perangko terlepas dari amplop tanpa berisiko ikut menjadi lapuk oleh air yang merendamnya. 

Setelah berhasil memisahkan helai demi helai perangko dari amplop, kemudian saya mengeringkannya dengan cara menjemurnya. Tidak benar-benar saya ingat tahapan ini. 

Yang saya ingat kemudian adalah perasaan senang saat melihat tumpukan koleksi perangko bertambah dengan kedatangan perangko yang baru kering. Saat itu koleksi perangko saya cukup disimpan di dalam wadah kaleng berbentuk persegi panjang. 

Hingga suatu saat giliran saya dan bapak  melakukan kunjungan bulanan ke toko buku Gunung Agung di daerah Senen. Saya melihat tumpukan album cantik (yang kemudian saya tahu sebagai album perangko) di salah satu rak display toko. 

Saya baca tulisan di covernya "Stamp Album" dengan gambar cantik sebuah atau beberapa perangko. Saya buka-buka lembaran halamannya yang keras dan memiliki deretan lapisan plastik. 

Tiap halaman bisa memuat sekitar 5 deret plastik berbukaan atas untuk memuat perangko. Saya kontan langsung tertarik. Di mata saya, buku itu terlihat begitu cantik. saya pastikan ke bapak bahwa itu buku untuk menyimpan perangko. Bapak menjawab, "Ya. Itu namanya album perangko". 

Rasanya senang bukan kepalang. Saya berhasil merayu bapak untuk membelikan saya 2 buah album perangko yang langsung saja penuh dengan koleksi perangko saya dari dalam kaleng biskuit.  

Tangan saya masih asyik menikmati proses menyelipkan lembar demi lembar perangko ke lapisan plastik dalam album, mematut-matut perangko mana yang cocok diletakkan dalam satu baris lurus ke samping. Jika ada perangko yang sama, apakah akan dibariskan saja dalam satu baris ke samping atau baris vertikal. 

Akankah perangko yang mungil ukurannya diletakkan di tengah lalu diapit kanan kiri dengan perangko yang berukuran besar. 

Baru sekitar seperlima koleksi berhasil dipindahkan ke dalam album, eeh, halaman-halaman kedua album itu langsung penuh. Hmm... kalau begini, saya butuh sekitar 5 album lagi, saya berseru kepada bapak saat itu. 

Bapak hanya tertawa lebar melihat ekspresi wajah saya yang merupakan kombinasi dari perasaan girang bersemangat, kecewa, juga penuh rencana. 

Yang selanjutnya terjadi adalah masa-masa saya selalu memasukkan album perangko ke dalam daftar belanja setiap kali kami berkunjung ke toko buku. Setiap bulan jatah album perangko yang bisa bapak penuhi hanya satu buah. 

Selain itu, jatah saya, kakak dan adik selalu sama; buku cerita dan alat tulis. Karena demikian aturan bapak, saya mengatur uang jajan saya agar bisa terkumpul di akhir bulan untuk membeli satu buah album perangko lagi. Saat memandangi deretan koleksi perangko saya yang tertata rapi di dalam album, bahagianya tak terkatakan. 

Indah, manis. Seindah dan semanis masa kecil saya bersama bapak tersayang.

Terima kasih, mbak Erni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun