Begitupun keempatnya beroleh pencapaian penonton dengan jumlah yang mengesankan. Artinya terbuka peluang besar bagi pasar untuk menyerap lebih banyak lagi cerita-cerita asli yang dibuat dengan craftmanship yang terjaga.
2. KEBERANIAN MENGEDEPANKAN TEMA-TEMA BARU
"Mencuri Raden Saleh" mencuri perhatian penonton tahun lalu dengan kebaruan temanya untuk industri film nasional. Tema-tema pencurian rasanya belum pernah digarap oleh sineas negeri ini dan Visinema Pictures menggarapnya dengan total dan mengerahkan segala aspek dari desain produksi hingga promosi ke level maksimal. Dan hasilnya "Mencuri Raden Saleh" beroleh lebih dari 2,3 juta penonton.
Tahun lalu memang tahunnya horor namun disuguhi tontonan dari genre yang sama dengan sedikit sekali inovasi dalam jumlah besar lama kelamaan akan membuat penonton bosan dan beralih ke tema-tema lainnya yang jarang digarap seperti tema heist.
3. KEBERANIAN BERCERITA DENGAN CARA BERBEDA
Dengan sebegitu banyaknya serbuan film horor tahun lalu, "Qodrat" yang berangkat dari cerita asli menonjol karena keberaniannya bercerita dengan cara yang berbeda. Sisi agama yang biasanya terpinggirkan di film horor kiwari justru ditonjolkan sangat erat di film besutan Charles Gozali itu.
"Qodrat" juga menjadi titik balik dari film horor dengan cerita jadul dengan kemasan modern yang tampaknya disukai penonton yang mungkin mulai bosan dengan cerita yang begitu-begitu saja.
4. KEBERANIAN MEMPRODUKSI FILM DENGAN BIAYA LEBIH BESAR
Jika mencermati daftar 15 film Indonesia terlaris kita bisa mengungkap satu fakta yang jelas: bahwa kesemuanya diproduksi tidak dengan biaya murah. Keseluruhan judul diproduksi dengan biaya produksi dan promosi minimal 3 milyar rupiah. Hasilnya jelas: secara teknis film naik level berlipat-lipat dari generasi sebelumnya.
Dan tak ada lagi istilah memproduksi film horor karena dianggap murah. Dan anggapan tersebut sebenarnya salah besar. Karena film horor justru bersandar betul pada aspek teknis visual dan suara yang memang perlu dibuat mumpuni demi memuaskan penonton. Dengan cara ini, film Indonesia bisa terhindar dari "pedagang film" yang memproduksi film hanya sekedar mencari untung belaka tanpa mempedulikan sustainability dari industrinya beberapa tahun ke depan.