ilustrasi membuat film. (sumber: KOMPAS/HERYUNANTO)
Setelah tiarap hampir 3 tahun karena pandemi, industri film Indonesia melakukan rebound dengan sangat gemilang. Hanya dengan 80-an judul yang beredar di bioskop tahun ini bisa menjual 54 juta lembar tiket dan memecahkan rekor yang tercipta di tahun 2019.Â
Belum lagi dengan fakta bahwa akhirnya film Indonesia bisa menguasai 60% dari perolehan total box office di bioskop Indonesia yang tahun ini menjual sekitar 90 juta lembar tiket.
Dan tahun 2023 akan menjadi pembuktian. Apakah film Indonesia akan terus melaju atau stagnan atau malah akan terpuruk. Tapi tentu kita mengharapkan yang terbaik dan ada 7 hal yang bisa dilakukan untuk memelihara ekosistem sehat dari industri film tanah air.
1. PEMERINTAH BUKA REGULASI TERKAIT PAJAK FILM
Negara mendapatkan pajak yang cukup besar dari film dengan variasi penarikan pajak mulai dari 10-40% dari tiap tiket di tiap bioskop.Â
Karenanya sudah perlu dikaji untuk skema pengembalian pajak dari industri kembali ke industri yang bisa digunakan untuk memproduksi film dengan tema/cerita menarik yang susah diproduksi oleh kalangan industri.
Selain itu pemerintah juga perlu mengkaji besaran pajak yang dikenakan ke penjualan tiket film Indonesia. Jika memungkinkan, besaran pajak dikurangi sehingga harga tiket film Indonesia bisa lebih murah dari tiket film impor yang pada akhirnya membuat produser tak perlu lagi membuat strategi BUY 1 GET 1 dll yang justru potensial "menurunkan" kualitas film Indonesia di mata penonton.
Skema pengembalian pajak juga bisa digunakan untuk mengamankan jumlah pertunjukan dari film Indonesia di 3 hari pertama rilisnya di bioskop. 3 hari pertama ini sangat urgent disikapi karena selalu menjadi penentu bertahan lama atau tidaknya sebuah film di bioskop.
2. PEMERINTAH BUKA REGULASI TERKAIT PRODUKSI FILM DAERAH
Sukses film Makassar, "Uang Panai", di tahun 2016 membuka mata akan potensi film daerah. Hanya dengan jumlah pertunjukan terbatas, film tersebut bisa beroleh lebih dari 600 ribu penonton.Â
Bandingkan dengan film nasional yang beroleh ratusan jam pertunjukan namun justru tak memperlihatkan performa yang bagus di box office.
Dalam hal ini pemerintah perlu membuat sejumlah regulasi yang memudahkan produksi film di daerah, bahkan jika memungkinkan pemerintah bisa memberikan stimulan mulai dari penyertaan modal/investasi, fasilitas gratis akomodasi, transportasi dll yang akan membuat produser tertarik untuk melakukan produksi film di daerah.
3. RISET UNTUK PEMETAAN PENONTON FILM INDONESIA SECARA KOMPREHENSIF
Selama film Indonesia diproduksi di Indonesia, kita tak pernah punya riset terkait pemetaan penonton film Indonesia secara komprehensif. Kita tak pernah memahami betul bagaimana kebiasaan penonton Jabodetabek atau Makassar.Â
Kita belum bisa memahami faktor apa yang membuat penonton di Medan atau di Jogja tertarik menonton film Indonesia. Dan terutama kita tak pernah memahami seberapa sering sesungguhnya penonton di Bandung atau di Pontianak pergi ke bioskop dalam sebulan dan seberapa sering mereka menonton film Indonesia dalam jadwal mereka.
Data ini menjadi penting bagi produser karena kita bisa membaca film seperti apa yang sesungguhnya mereka inginkan untuk ditonton di bioskop atau seberapa besar keberpihakan mereka pada film dari negerinya sendiri.Â
Dengan adanya data ini, baik pihak produser maupun pihak bioskop bisa mengkaji sebuah film sebelum beredar dan dari persebaran di tiap kota pun kita bisa memprediksi seberapa besar penyerapan dari film tersebut ke pasar nantinya.
4. MUNCULNYA INVESTOR DARI LUAR JAKARTA
Sudah saatnya film Indonesia tak "dikuasai" oleh PH-PH besar yang lebih berorientasi ke industri. Sudah saatnya investor dari luar Jakarta melihat aspek bisnis yang menarik dari produksi dan tertarik untuk berinvestasi secara jangka panjang di film.Â
Dan kita bisa berharap bahwa dengan campur tangan investor dari luar Jakarta maka film Indonesia pun tak melulu Jakarta/Jawasentris yang mulai dianggap membosankan oleh sebagian penonton.
Penonton film Indonesia juga butuh melihat film dari Bengkulu, dari Balikpapan, dari Mataram, dari Kendari atau dari Manokwari dengan cerita-cerita lokal mereka.
5. REGENERASI PEKERJA FILM TERJADI SECARA SEHAT
Melihat ledakan produksi film/serial/miniseri di Indonesia membuat kita semakin memahami pentingnya regenerasi pekerja di industri. Salah satu kendala yang sudah terjadi selama bertahun-tahun adalah kurangnya sekolah/lembaga pendidikan yang mengkhususkan diri pada penyiapan talenta-talenta pekerja film.
Karenanya perlu sebuah skema yang memberi lebih banyak kesempatan bagi generasi baru pekerja film. Bisa dimulai dari skema magang yang memang diarahkan sebagai "talent scouting" untuk melihat bibit-bibit baru yang bisa dibina dan diberdayakan.
6. PEMBINAAN KOMUNITAS PENONTON
Sebagian besar dari pelaku industri hanya sibuk memproduksi film tanpa memikirkan untuk melakukan pembinaan terhadap penontonnya. Dalam hal ini terutama untuk konsisten melakukan literasi atas film Indonesia berkualitas baik yang perlu didukung.
Kantong-kantong komunitas penonton film perlu diberdayakan dan dirawat karena mereka menjadi ujung tombak dari promosi film, utamanya film yang diproduksi bukan untuk tujuan komersial semata.Â
Jika kantong-kantong ini bisa dipelihara dan terus membesar, kita bisa berharap film-film jebolan festival juga bisa ditonton lebih dari 300 ribu penonton dan membuat investor lebih tertarik untuk memproduksi jenis film seperti ini.
7. KEBERPIHAKAN MEDIA KEPADA FILM INDONESIA
Peran media bagi promosi film Indonesia sangat penting. Jika media bisa memberitakan film Hollywood atau drama Korea secara gratis, kenapa buat film Indonesia tak bisa melakukannya?
Keberpihakan media kepada film lokal sangat penting karena juga bisa mendorong tulisan berupa kritik/review film.Â
Tulisan semacam ini memberi insight kepada pembuat film atas apa yang bisa dilakukannya terhadap karya-karyanya berikutnya. Juga memberi literasi kepada calon penonton dalam memilah dan memilih film Indonesia yang kelak akan ditontonnya di bioskop.
Ichwan Persada adalah sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute