Ayah, panggilan yang tersemat untuknya sejak Ibu melahirkan kakak pertamaku. Ayah memiliki empat orang anak. kakak pertama, kedua, aku, dan adikku. Ayah adalah sosok yang luar biasa bagi kami. Meskipun menurut orang lain Ayah bukanlah siapa-siapa. Namun, bagi kami beliau adalah segalanya. Ayah mungkin bukan orangtua yang pandai menunjukkan rasa sayang secara gamblang. Namun kami tahu rasa sayangnya kepada kami luar biasa.
"Alhamdulillah, hujan." Kata Ibu.
Tak lama dari hujan turun, tiba-tiba "pet!'' lampu padam.
Sore ini hujan cukup lebat mengguyur wilayah Bekasi. Jika turun hujan, kami akan berkumpul di ruang tamu untuk bersholawat atau mendengarkan kisah dari Ibu. Ibu sangat pintar membuyarkan kebosanan kami. Hari ini adalah hari kerja, kami hanya berlima di rumah.
"Mau mendengar kisah Emen?", tanya Ibu.
Kamipun mengangguk. Cerita Emen adalah cerita karangan Ibu sendiri. Biasanya selesai bercerita Ibu menjelaskan pesan moralnya. Selain kisah Emen masih banyak kisah lain yang sering Ibu ceritakan untuk kami.
"Duarrrr!" tiba-tiba bunyi petir menyambar.
"Subhanallah! Kaget, ya?" Tanya Ibu. "Yuk, kita sholawatan!" Ajak Ibu kepada kami.
Selesai bersholawat. Tiba-tiba aku penasaran dengan foto yang dipajang di ruang tamu. Ada seorang nenek yang menggendong satu anak laki-laki dan menggandeng anak laki-lakinya yang lain.
"Ibu itu foto siapa?", tanyaku.
"Oh, itu foto Ayah dan Mbah.", Jawab Ibu. Tiba-tiba Ibu menceritakan tentang masa kecil Ayah.
Ibu bercerita bahwa Ayah pertama kali merantau ke Jakarta, datang dan bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan padang. Saat itu Ayah baru lulus SLTP. Sebagai anak kedua dari enam bersaudara, Ia pergi merantau ke Jakarta untuk membantu orangtuanya. Kemudian beliau menjadi pembantu di sebuah rumah orang kaya.
"Terus bu?" Tanyaku penasaran.
Sesekali kami dikagetkan dengan suara petir yang menyambar. Hujan belum juga reda dan lampu masih padam. Ibupun melanjutkan kisahnya.
Pernah suatu waktu majikannya kehilangan barang berharga. Ayahku dituduh oleh temannya yang juga seorang pembantu bahwa Ayahlah yang mencuri barang tersebut. Karena merasa tak mencuri, Ayah tetap tenang dan tidak terpengaruh dengan tuduhan temannya. Singkat cerita sang majikan menemukan pencuri asli barang tersebut. Majikan Ayah melihat kejujuran Ayah hingga menyekolahkan Ayah ke jenjang SLTA. Sungguh kesempatan emas yang tentu tidak dilewatkan olehnya. Setelah lulus, Ayah melamar kerja menjadi OB di Departemen Keuangan. Ayah adalah sosok yang ulet. Kalau zaman sekarang kita sebut dengan istilah "sat set sat set". Semua pekerjaan dikerjakan dengan cepat. Dari kisah Ibu tentang Ayah ini kami diajarkan tentang kejujuran serta kesabaran.
"Alhamdulillah hujan sudah mulai reda.", "Ibu mau masak untuk makan nanti, ya." Ucap Ibu. Ibupun pergi ke dapur.
Tak lama lampu kembali menyala. Kami bergegas mandi dan bersiap menyambut kepulangan Ayah. Ayah berangkat setelah sholat subuh dan kembali sebelum adzan Isya. Setelah adzan Magrib biasanya Ibu akan mematikan TV. Kami sholat dan wajib memegang buku setelahnya entah untuk mengerjakan PR atau sekedar membaca buku pelajaran untuk besok sambil menunggu Ayah pulang. Ketika Ayah pulang kami sudah selesai belajar. Setelah Ayah bersih-bersih dan makan, kami akan menonton TV bersama. Sesekali Ayah membawakan kami oleh-oleh susu kotak atau sekotak makanan dari kantor yang rela tidak ia makan karna teringat anak-anaknya. Itu adalah oleh-oleh istimewa bagi kami. Meskipun menurut orang lain itu tak seberapa harganya. Ayah mengajarkan kami untuk tetap memiliki momen berharga dengan keluarga meski sebentar. Kami adalah prioritas Ayah, sesibuk apapun Ayah tetap meluangkan waktu meski sekedar menonton TV bersama.
Suatu ketika Ayah kami sakit. Ayah baru tahu bahwa memiliki penyakit hipertensi. Ayah tidak mampu berdiri dan bicara. Saat itu Ibu merawatnya sendiri di rumah. Boneka karet bebek digunakan Ayah untuk memanggil Ibu atau kami jika membutuhkan sesuatu.
"cit... cit... cit... ", bunyi boneka karet bebek tanda Ayah membutuhkan sesuatu. Aku yang saat itu mendengar datang menghampiri.
"Ada apa, Yah?", tanyaku. Ayah menunjuk ke salah satu arah dan akupun mengerti.
"Oh, air hangat?", jawabku. Akupun segera memberikan kantong berisi air hangat untuk mengompres kening Ayah.
Itu adalah momen yang sangat menyedihkan bagi kami. Ayah sakit lebih dari sebulan. Pastinya Ayah mendapatkan potongan-potongan karena ketidakhadirannya di kantor. Kami harus terbiasa hanya makan satu jenis sayur dan satu lauk. Kadang kami harus membagi dua lauk yang Ibu masak agar irit dan cukup selama satu hari.
Setelah sebulan lebih lamanya, Alhamdulillah Ayah sembuh dan kembali bekerja. Sejak saat itu Ayah tidak pernah makan makanan yang asin, daging kambing, dan berhenti merokok. Ayah sangat konsisten. Ayah mengajarkan kami tentang berjuang melawan sakit. Sampai sekarang pun beliau sangat konsisten menjaga makanannya.
Meski hidup kami tak bergelimangan harta. Namun, Ayah mampu membahagiakan kami. Ayah selalu menanamkan kepada kami untuk berusaha terlebih dahulu jika ingin meraih apa yang diinginkan. Ayah selalu memotivasi kami untuk menjadi anak yang pintar dan berkemauan kuat.
Setiap mengambil rapor kami selalu berharap nilai kami baik agar kami bisa ikut ke kantor tempat Ayah bekerja. Di kantor Ayah ada program beasiswa dan saat acara penerimaan beasiswa itulah kami akan diajak ke kentornya. Maklum kami tidak pernah dapat kesempatan jalan-jalan kecuali ada momen dari kantor Ayah. Selama di kantor Ayah banyak hal yang membuat saya takjub. Di mata orang lain mungkin Ayah adalah seorang karyawan biasa dengan pangkat yang tak tinggi. Namun bagi kami Ayah adalah orang terhebat yang pernah kami temui seumur hidup. Ayah sangat rajin bekerja sehingga iya akhirnya diangkat menjadi karyawan. Ayah belajar banyak tentang cara pengoperasian komputer sehingga tidak menjadi OB lagi.
Ayah memiliki kebiasaan meminjam buku di perpustakan. Terkadang buku itu difotokopi agar kami bisa membacanya lebih lama dari waktu peminjaman. Sederhana namun berharga karena itulah satu satunya kesempatan kami membaca buku selain buku pelajaran dari sekolah. Waktu berlalu, Kakak pertamaku lulus SMA. Ayah mendukung Kakak untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Meski kami bukan orang kaya dan saat itu di lingkungan kami tidak ada yang kuliah. Ayah mengajarkan kami tentang pentingnya pendidikan. Sesulit apapun Ayah berupaya mencukupi kebutuhan kami. Kadang ada momen di sekolah yang harus kami lewatkan seperti perpisahan atau study tour. Sebagai anak mungkin kami sangat ingin ikut, tapi Ayah dan Ibu memberikan kami pengertian bahwa kita harus tahu skala prioritas.
Saat itu aku kuliah Semester IV, Ayah pensiun dari tempat ia bekerja. Alhamdulillah dengan susah payah Ayah mampu menyekolahkan kami sampai jenjang Perguruan Tinggi. Teman-teman Ayah memberikan sebuah gambar. Di gambar itu tertulis "The Legend of Datinfo" ada editan foto Rambo yang diganti dengan wajah Ayah. Dari teman-teman Ayah aku mendapat cerita bahwa Ayah adalah orang yang seperti Rambo, pantang menyerah, selalu bersemangat, dan selalu berusaha mengerjakan tugas dengan baik.
Bagi kami, Ayah pun seperti Rambo. Pahlawan kami yang selalu memberikan inspirasi, menanamkan nilai-nilai baik meskipun tak pernah beliau ungkapkan. Namun kami melihatnya secara langsung setiap hari dalam bentuk contoh dan itu sangatlah membekas. Perjalanan hidup Ayah kami yang datang ke Jakarta dan menjadi tukang cuci piring, hingga bisa menjadi seorang karyawan bahkan PNS. Bermodalkan kejujuran, keuletan, semangat juang yang tak pernah padam. Hal itu membuat kami, anaknya, bertekad menjadi orang yang lebih sukses dikemudian hari.
Terima kasih Ayah, Rambo kesayangan kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI