Mohon tunggu...
ibtida rahma
ibtida rahma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir, besar dan belajar di kota kecil Kebumen dan Semarang tak membuat gadis kecil ini menjadi kecil dalam berbagi kasih sayang dan bermimpi, seperti tersirat dalam makna nama hadiah dari orang tuanya, Ibtidaurohmah, awal kasih sayang...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Umar

9 Mei 2012   02:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:31 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari sudah beranjak siang kala pak Pos datang mengantarkan surat ke rumahnya. Rahma baru saja pulang dari sekolah. Biasa, hari Sabtu hanya sampai pukul 13.00. Tersenyum dia menerima amplop putih polos dengan tempelan prangko dua ribu lima ratus rupiah itu. Dilihatnya nama Sang pengirim surat. Rupanya Umar. Ingatanya kembali pada masa satu tahun silam, ketika dia baru saja menyelesaiakan sarjana pendidikannya di sebuah universitas di Semarang dan mulai bekerja di sebuah bimbingan belajar di kawasan Jakarta Timur. Saat itu dia tinggal menumpang di rumah pakliknya di daerah Pulogebang. Disitulah Rahma bertemu dengan Umar dan lima orang anak lain yang kesehariannya memulung plastik hingga walikota Jakarta Timur. Sebenarnya mereka dahulu pernah menikmati indahnya sekolah. Tetapi, nasib memaksa mereka menundanya kelanjutan pendidikan mereka. Mereka semua kebetulan belajar mengaji di rumah paklik Rahma. Dari situlah dia tahu, mereka tidak sekolah. Suatu hari Rahma memborong beberapa buku bacaan sepulang Ia mengajar privat. Ternyata Umar dan teman-temannya tertarik untuk membaca buku-buku itu. Semenjak saat itulah Umar dan lima orang temannya belajar membaca dan menulis lagi. Dalam tiga bulan keberadaanya, sepuluh orang berkumpul untuk kembali belajar membaca dan menulis.

Ini adalah surat kedua belas yang Umar kirim sejak Rahma pindah ke Kebumen setahun lalu, mengikuti suaminya. Ibu guru muda itu tersenyum, segera menyobek perlahan ujung amplop dan membukanya. Dia pun duduk di kursi bulat di teras rumahnya dan mulai membaca, bahkan dia pun belum sempat membuka pintu.

Pulogebang, 29 April 2012

Ibu Rahma yang baik hati,

Apa kabar Ibu?

Apakah Ibu sudah membaca Koran pagi hari ini? Ada berita yang sangat menggembirakan Bu. Tadi pagi saat Pak Aman meminta saya menunggui kiosnya, saya membaca satu koran Bu. Dan Ibu tahu tidak? Dikoran itu tertulis bahwa sekolah di Jakarta bakal gratis mulai tahun depan. Bapak gubernur sendiri yang bilang lho Bu. Bukan hanya sekolah SD saja, Ibu. Tetapi sekolah menengah juga. Berarti Umar akan bisa masuk sekolah lagi kan ya Bu? Umar bisa masuk SD lagi  kan ya Bu? Kakak-kakak yang lain juga bisa masuk SMP kan ya Bu? Umar akan bilang ke nenek Umar. Umar mau masuk sekolah petang Ibu. Biar pagi hari bisa mengantar koran dan mencari plastik. Ibu, doakan Umar ya Bu.

Murid Ibu di Rumah Baca Tulis

Umar

Dilipatnya kembali surat itu. Nampak Ia menengadahkan kedua tanganya seraya memejamkan mata. Berdoa. Semoga benar apa yang Umar harapkan. Semoga Tuhan YME berkehendak memberi Umar dan kawan-kawannya di Sekolah Baca Tulis dapat menikmati pendidikan yang layak di sekolah mulai tahun ajaran baru nanti. Aamiin.

Perlahan dia usapkan kedua tangannya ke muka penuh takzim. Dia sangat khusyu hingga tidak menyadari kedatangannya suaminya yang baru pulang dari mushola.

“Wah, Ibu guru. Sepertinya ada kabar spesial dari ibukota sampai-sampai tidak sabar menunggu hingga masuk rumah untuk membacanya. Surat dari Umar ya?” sapa Tegar, Sang Suami, mengagetkannya.

“Eh, Mas. Mengagetkan saja. Iya. Katanya tahun depan dia akan masuk sekolah petang.” jawabnya sambil mencium tangan Tegar penuh hormat, istri pada suami.

“Wah, bagus kalau begitu. Ayo kita masuk dulu. Nanti habis makan siang kita baca lagi dan balas suratnya Umar. Sudah lapar nih.”

Beriringan kemudian mereka masuk ke dalam rumah. Rahma pun bersegera menuju kamar dan berganti pakaian. Suaminya sedang menonton televisi ketika dia melewati ruang keluarga, sekaligus ruang makan mereka, menuju dapur. Menyiapkan makan siang. Tak lebih dari tiga puluh menit nasi hangat, bobor bayam, ayam kecap dan perkedel jagung terhidang di meja, lengkap dengan sambal beraroma jeruk limau, sedap membangkitkan selera.

“Makan siang dulu, Mas.” ujarnya lembut sambil menyorongkan piring berisi nasi kepada suaminya.

“Terimakasih, Dek. Wah, pasti enak. Bobor bayam kesukaan nih. Boleh nambah kan?” candanya sambil menerima piring dari Sang Istri dan menyendok sayur kesukaannya.

“Boleh. Kan sayur bayam memang sebaiknya segera dihabiskan. Tidak bisa tahan terlalu lama.” sahut Rahma sambil mengambil nasi dan lauk untuknya sendiri.

Selesai membereskan makan siang, Rahma lekas mengambil surat Umar dan membacanya kembali, kali ini bersama suami di sampingya.

“Katanya mau dibalas? Kok malah hanya dibaca ulang?”

“Iya, Mas. Adik khawatir kalau Umar ternyata masih belum bisa masuk sekolah Mas.”

“Lho, kan Umar yang bilang berita sekolah gratis itu diberitakan di koran.”

“Iya sih. Tapi tetap saja masih ragu. Jangan-jangan nanti Umar masih tetap harus membayar. Ya seragam lah, ya LKS lah, ya administrasi lah, ya pembangunan gedung sekolah lah.”

“Kok malah jadi berburuk sangka sama pemerintah tow?”

“Bukannya berburuk sangka. Tapi kan memang seringnya seperti itu? Berjanji iya tapi nyatanya tidak. Warga dijanjikan tidak ada pungli di berbagai kantor publik tapi faktanya bikin KTP baru aja harus bayar dulu biar segera jadi. Mahal pula.”

“Ah, Kau tidak udah berganti jadi pengajar pesimisme di sekolah tow, Dik?”

“Mas ini. Sudahlah kita balas saja surat Umar. Tapi nanti kalau ternyata dia harus membayar ini itu, Mas harus janji kita boleh bantu dia.” Rajuknya manja pada suami tercinta. Dan suaminya hanya tersenyum sambil menyodorkan pena dan kertas surat yang sudah dari tadi dipegangnya.

“Ayo, kita tulis balasannya.”

Kebumen, 5 Mei 2012

Ananda Umar tersayang,

Puji syukur, Ibu dan Bapak dalam keadaan sehat wal afiat. Bagaiman kabar nenek Umar? Umar masih rajin menyiapkan sarapan dan mengurus nenek kan sayang? Ibu bangga. Umar memang anak shaleh.

Ibu sangat senang Umar berkirim surat lagi kepada Ibu. Lebih senang lagi setelah tahu bahwa Umar akan masuk sekolah tahun ini. Selamat ya, Sayang.

Ibu dan Bapak doakan supaya lancar semuanya. Nenek Umar pasti akan sangat mendukung Umar. Nenek yang dulu terus menyemangati Umar untuk belajar di Rumah Baca Tulis bukan? Bagaimana kabar kakak-kakak yang lainnya? Semoga tahun depan semuanya bisa kembali sekolah ya. Ibu dan Bapak selalu berdoa untuk kebaikan kalian dari sini. Umar masih rajin juga mengantar koran kan? Jangan lupa untuk selalu tepat waktu ya, Sayang. Para pelanggan Umar menunggu dengan antusias untuk membaca berita pagi, menambah ilmu. Umar juga harus meluangkan waktu untuk membacanya.

Restu Ibu dan Bapak untuk kebaikan dan kebahagiaan Umar dan kakak-kakak di Rumah Baca Tulis.

Salam,

Ibu Rahma dan Bapak Tegar

Selesai. Sret. Rahma menyobek kertas surat itu, melipatnya dan kemudian memasukkannya ke dalam amplop. Dia tersenyum. Bahagia.

“Sudah?”

“Iya, Mas. Boleh ya, Adek tambahkan dua ratus ribu ini ke dalam amplop?”

“Katanya mau ditabung? Siapa tahu ternyata Umar masih harus membayar sekolah.”

“Tapi, Adik khawatir dengan kondisi nenek Umar.”

“Umar masih mengantar koran bukan? Dia pasti juga menyisihkan uang untuk memberikan makanan yang sehat buat neneknya. Dulu Adik mengajari mereka semua untuk berhemat, kan?”

“Iya sih. Ya Sudah. Mas mau minta tolong memasukkannya ke kotak surat kan?”

“Pasti.”

Tegar meraih amplop dari tangan istrinya dan melangkah ke dalam kamar.

“Ngapain, Mas? Kok malah ke kamar?”

“Ganti baju dulu ya, Istriku sayang.” jawabnya sambil membelai lembut kepal Sang Istri.

Tegar melongok keluar pintu. Memastikan bahwa istrinya tidak mengikutinya masuk kemudian menutup pintu. Perlahan Ia keluarkan lima lembar ratusan ribu dari saku celana dan dimasukkannya ke dalam amplop putih lain, bersama dengan amplop surat tadi. Ditulisnya lagi alamat rumah Umar dan alamat mereka. Dan stt…. Tegar mengelem kembali amplop surat itu. Dan beranjak menyiapkan motornya, pergi mengantarkan surat dan memasukkanya ke dalam kotak pos di depan kantor pos. Hari Sabtu kantor pos hanya buka setengah hari. Tapi begitulah Rahma, Sang Istri selalu ingin bersegera membalas surat Umar. Dia juga.

***


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun