Mohon tunggu...
ibtida rahma
ibtida rahma Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Lahir, besar dan belajar di kota kecil Kebumen dan Semarang tak membuat gadis kecil ini menjadi kecil dalam berbagi kasih sayang dan bermimpi, seperti tersirat dalam makna nama hadiah dari orang tuanya, Ibtidaurohmah, awal kasih sayang...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saya Senang, Ibu Ikhlas

26 April 2012   01:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:06 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Saya senang, Miss Iib sudah lebih ikhlas mengasuh kelas kami sekarang”. Satu kalimat sederhana nan menggelitik. Kalimat ini diutarakan oleh salah satu anak asuh saya, dan membuat saya tersenyum dan menepuk pundaknya pagi ini. Ceritanya begini. Salah satu siswi saya ada yang sakit sampai-sampai untuk duduk saja sulit apa lagi berdiri dan berjalan. Dan pagi ini, saya datang mengantarkan kursi guru, yang lebih empuk dari pada kursi siswa dan berroda. Tujuan saya sederhana sebenarnya, memenuhi kesepakatan kami tadi malam, saya dan siswi saya dan membantunya nyaman untuk berpindah tempat. Hanya sesederhana itu. Tetapi kalimat yang pertama saya tuliskan tadi terus menggelitik hati saya. Jangan-jangan iya, selama ini saya kurang ikhlas dalam mengasuh mereka. Mungkin memang iya. Tidak ikhlas atau belum sepenuhnya ikhlas? Saya guru baru di sekolah ini, sebuah sekolah berasrama di kawasan Parungkuda, Sukabumi, dan baru lulus juga jadi sarjana pendidikan. Saya belum genap lima bulan bekerja di yayasan ini, ketika pihak sekolah mengamanahi saya untuk menjadi wali kelas XI IPS, kelas yang serba ‘spesial’. Jujur, selama mengasuh mereka ini, saya masih sering menangis dan mengeluh pada Tuhan YME. juga pada rekan-rekan guru senior karena segala tindakan hasil ‘kreatifitas’ mereka. Iya, saya sadar, saya masih kurang ikhlas ternyata. Bagaimana dengan rekan-rekan guru yang lain? Banyak saya mendengar rekan-rekan guru yang mengeluhkan anak-anak didik yang tidak kunjung faham akan materi-materi yang telah disampaikan. Banyak juga rekan guru yang mengeluhkan nilai-nilai anak-anak yang semakin rendah, tingkat kejujuran anak yang semakin rendah, dan saya sendiri juga mengalami hal itu. Lantas saya berfikir, apa ini karena selama ini saya kurang ikhlas mendidik mereka? Memang terkadang rasa jengkel memenuhi rongga dada, mengirimkan syaitan-syaitan untuk menggoda kita untuk marah saat mereka bertingkah dengan daya kreatifitas mereka yang ‘super cerdas’, lantas kita marah kemudian mereka terdiam. It works, memang, tapi apakah kemudiah kita akan berhasil mendidik mereka untuk mengelola emosi dan menahan nafsu amarah kita? Maka, kalau saat ini semakin banyak siswa yang hobi tawuran dan berkelahi, apakah itu karena beberapa dari kita masih belum mampu mendidik mereka untuk menahan nafsu amarah tersebut? Memang, tidak sepenuhnya itu dosa para guru, tapi bukan tidak mungkin kita memang berandil untuk itu. Saya jadi ingat pada seorang guru mengaji saya di desa, dulu ketika saya kecil. Beliau sangat tulus dan terus mendidik kami meskipun sebagian besar kami sangat nakal. Bahkan, beliau rela melepas pakaian beliau dan berlari menembus hujan untuk mengambilkan sandal saya yang terbawa arus selokan ketika hujan deras hanya dengan menggunakan satu payung kecil. Padahal, sangat sering dulu saya mengempeskan roda sepeda beliau, sangat sering saya mengagetkan beliau di tikungan saat beliau mengendarai sepeda hingga beliau hampir terjatuh. Tetap, beliau selalu datang tepat waktu untuk mengajari kami membaca huruf-huruf hijaiyah. Beliau tetap tersenyum dan memuji hasil ujian saya yang mendapat nilai bagus padahal sebelumnya saya berkomentar pedas mengata – ngatai kertas ujian yang aneh karena ada tempelan gambar bunga besar yang diambil dari kartu undangan pernikahan (kartu undangan pernikahan model ini sangat populer di wilayah kami, pesisir timur Kabupaten Kebumen, pada era 1994-an). Betapa saya sangat bergelimang dosa saat itu, tapi beliau tetap tersenyum menyapa dan memuji saya setiap saya datang mengaji dan mampu menyelesaikan satu kajian meski dengan terbata dan kurang lancar. Lantas mengapa masih sulit bagi kita, khususnya saya untuk meniru ketulusan dan keikhlasan beliau dalam mendidik? Saya yakin dan percaya energi yang terpancar dari kita saat berdiri di kelas, menyampaikan apa pun itu materi pelajarannya selalu dapat dirasakan dan diserap oleh anak didik kita.  Lantas, kala energi yang kita pancarkan adalah kemarahan dan ketidak ikhlasan, apa yang akan mereka serap? Emosi berlebihan? Amarah tak tertahankan? Marilah kita belajar untuk semakin ikhlas dan tulus dalam membantu anak didik kita untuk menyerap energi positif dan mengembangkan energi positif mereka untuk menghasilkan dunia yang lebih posistif.

IR

Parungkuda, 26 April 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun