Mohon tunggu...
ibrahim ali
ibrahim ali Mohon Tunggu... Penulis Buku, Motivator dan Pemerhati Desa

Hobi membaca dan jogging

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miskin Bukan Pilihan: Saat Negara Hadir di Desa

18 Juni 2025   09:50 Diperbarui: 18 Juni 2025   09:50 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tidak ada satu pun manusia yang bercita-cita untuk lahir dalam kemiskinan. Anak-anak desa pun tidak menulis dalam mimpinya, "Kelak aku ingin tinggal di rumah reyot, tanpa listrik, dan tanpa harapan." Kemiskinan bukan pilihan. Ia adalah warisan ketimpangan struktural, kelalaian kebijakan, dan lambannya kehadiran negara di ujung-ujung republik.

Namun, harapan itu belum mati. Di tengah ironi pembangunan kota yang melesat, masih ada ruang bagi negara untuk benar-benar hadir di desa. Sebab wajah Indonesia sesungguhnya bukan hanya di Jakarta, Surabaya, atau Medan. Wajah Indonesia adalah desa-desa yang masih setia menanam padi, menggembala sapi, dan menjaga hutan. Saat negara hadir, harapan tumbuh.


Kemiskinan Itu, Bukan Malas

Kemiskinan di desa bukan karena warganya malas. Mereka bangun lebih pagi dari penduduk kota, berjalan berkilo-kilometer tanpa alas kaki untuk bekerja di ladang, atau mengangkat ember demi ember air dari sumur tua. Kemiskinan di desa adalah warisan dari ketimpangan struktural yang terlanjur mengakar. Sejak era kolonial hingga reformasi, pembangunan selalu condong ke kota. Anggaran, infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan lebih cepat tiba di kota daripada di desa.

Pemerintah sudah memiliki data kemiskinan, tetapi belum cukup menjadikannya sebagai alat kontrol intervensi yang presisi. Desa-desa terpencil di Papua, NTT, hingga Sumba masih merasakan ketertinggalan akut. Akses jalan buruk, sinyal telekomunikasi lemah, dan sekolah hanya tersedia hingga tingkat dasar. Tidak heran jika generasi mudanya pergi merantau dan meninggalkan desa dalam siklus stagnan.

Ketimpangan Antara Desa dan Kota

BPS dalam laporan "Profil Kemiskinan Indonesia 2023" mencatat bahwa angka kemiskinan per Maret 2023 masih sebesar 9,36%, dengan mayoritasnya berada di wilayah perdesaan. Sebanyak 12,22% penduduk desa hidup di bawah garis kemiskinan, dibandingkan dengan hanya 7,29% di perkotaan. Ketimpangan ini semakin terlihat saat membandingkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM desa selalu tertinggal sekitar 10 poin dari IPM kota dalam 10 tahun terakhir.

Selain itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 menargetkan pengurangan kemiskinan menjadi 6,5--7,5%. Namun, target ini sulit tercapai bila desa tidak menjadi pusat perhatian. Pembangunan desa bukan hanya urusan jalan dan jembatan, tapi juga urusan keadilan sosial.

UU Desa: Negara Hadir

Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi titik balik penting. Negara mulai menyadari bahwa membangun Indonesia harus dimulai dari desa. Lewat UU ini, desa diberikan kewenangan, dana, dan keleluasaan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dana Desa sejak 2015 telah digelontorkan dalam jumlah besar mencapai lebih dari Rp400 triliun hingga 2024. Sebagian besar digunakan untuk infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan penguatan kelembagaan desa.

Banyak desa kini mulai bertransformasi. Mereka membentuk BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), membangun embung, mendirikan koperasi, hingga memberdayakan perempuan lewat UMKM lokal. Negara mulai hadir walau belum sepenuhnya merata.

Desa Bangkit, Negara Hadir

Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah. Lewat pengelolaan sumber daya air yang baik dan inovasi BUMDesa, desa ini berhasil meraih omzet miliaran rupiah per tahun dari sektor wisata air. Kemiskinan turun drastis, pengangguran nyaris tak terdengar. Di Papua, Desa Nimbokrang mulai dikenal karena produksi kopi lokalnya yang mendunia, berkat pelatihan dan pendampingan dari Kementerian Desa.

Contoh-contoh ini membuktikan bahwa ketika negara hadir secara konkret bukan sekadar kunjungan seremonial kemiskinan bisa dilawan, martabat desa bisa ditegakkan. Negara bukan hanya hadir dalam bentuk regulasi, tapi juga dalam bentuk pendampingan, akses pasar, teknologi, dan pendidikan.

Desa sebagai Titik Revolusi Sosial

1. Presisi Data, Presisi Intervensi

Negara harus memulai dari hal yang paling mendasar: data yang valid dan terintegrasi. Program perlindungan sosial dan bantuan pemerintah sering kali meleset karena tidak didukung data kemiskinan yang akurat. Solusi berbasis teknologi seperti Satu Data Desa harus diperkuat, agar bantuan benar-benar menyasar mereka yang berhak, bukan yang dekat dengan kekuasaan lokal.

2. Pendampingan Berbasis Kebutuhan Lokal

Setiap desa punya karakter, potensi, dan tantangan sendiri. Pendampingan dari pemerintah pusat maupun provinsi sebaiknya tidak menggunakan pendekatan seragam. Misalnya, desa di pegunungan membutuhkan akses logistik, sedangkan desa pesisir membutuhkan infrastruktur perikanan. Pendamping desa harus menjadi fasilitator, bukan sekadar pelapor proyek.

3. Literasi Ekonomi dan Digital

Kemiskinan juga terkait erat dengan literasi. Banyak warga desa tidak tahu bagaimana mengakses permodalan, mengelola keuangan, atau menggunakan teknologi digital. Negara harus hadir lewat program literasi ekonomi, pertanian cerdas, hingga pemasaran online. BUMDes bisa menjadi lokomotif digitalisasi ekonomi desa, asalkan didukung pelatihan dan insentif yang berkelanjutan.

4. Menjamin Akses Layanan Dasar Berkualitas

Negara tidak boleh abai terhadap kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar. Saat anak-anak desa mengenyam pendidikan yang setara dengan kota, mereka akan tumbuh menjadi penggerak pembangunan desa. Negara harus menjamin keberadaan guru tetap, tenaga kesehatan, serta fasilitas air bersih dan sanitasi di setiap desa.

Miskin bukan pilihan, dan desa bukan halaman belakang negara. Desa adalah pondasi utama rumah besar bernama Indonesia. Jika fondasi ini rapuh, maka pembangunan nasional akan selalu timpang. Negara tidak boleh datang terlambat ke desa, karena keterlambatan berarti generasi desa kehilangan masa depannya.

Harapan selalu ada selama negara mau benar-benar hadir. Hadir bukan sekadar janji kampanye, tetapi dalam bentuk kebijakan yang adil, anggaran yang tepat sasaran, dan kehadiran nyata di lapangan. Warga desa tidak ingin dikasihani, mereka hanya ingin disertai. Mereka tidak butuh belas kasihan, mereka butuh kesempatan.

Saat negara hadir, desa bergerak. Saat desa bergerak, Indonesia berdaulat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun