Mohon tunggu...
ibrahim ali
ibrahim ali Mohon Tunggu... Penulis Buku, Motivator dan Pemerhati Desa

Hobi membaca dan jogging

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membangun Indonesia Dari Desa

11 Juni 2025   23:09 Diperbarui: 11 Juni 2025   20:12 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika kita berbicara tentang masa depan Indonesia, pikiran kita sering kali melayang ke kota-kota besar: Jakarta, Surabaya, Bandung. Namun, akar kekuatan sejati negeri ini justru tersembunyi di balik hamparan sawah, jalan tanah, dan semangat gotong royong warga desa. Di sanalah Indonesia sebenarnya bertumbuh. Membangun Indonesia dari desa bukan hanya pilihan kebijakan, melainkan kebutuhan mutlak jika kita ingin negeri ini kokoh, adil, dan berkelanjutan.

Desa sebagai Fondasi Pembangunan 

Desa bukan hanya unit administratif. Ia adalah ruang hidup, ruang budaya, dan pusat produksi pangan serta kearifan lokal. Sekitar 74% wilayah Indonesia merupakan wilayah perdesaan. Lebih dari 40% penduduk Indonesia tinggal di desa. Sayangnya, selama puluhan tahun, desa kerap diposisikan sebagai objek pembangunan, bukan subjek utama.

Padahal, desa memiliki potensi luar biasa: sumber daya alam, tenaga kerja muda, dan nilai-nilai sosial yang kuat. Potensi inilah yang harus diangkat menjadi fondasi pembangunan nasional. Kita bisa belajar dari negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan, yang menata pembangunan dengan basis desa yang kuat.

Data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) menunjukkan bahwa sejak bergulirnya Dana Desa pada 2015, lebih dari 250.000 km jalan desa telah dibangun, 1,4 juta meter jembatan desa, serta puluhan ribu fasilitas pendidikan dan kesehatan. Ini bukti bahwa ketika desa diberi ruang dan sumber daya, ia mampu bergerak dan berkembang.

Namun, tantangan masih besar. Banyak desa belum memiliki akses internet memadai, minimnya inovasi, serta kesenjangan dalam kapasitas pengelolaan keuangan dan perencanaan. Bahkan, tidak sedikit desa yang masih bergantung penuh pada pemerintah pusat tanpa kemandirian ekonomi.

Penguatan Kapasitas dan Ekonomi 

Pertama, desa perlu menjadi pusat inovasi lokal. Program "Satu Desa Satu Produk Unggulan" harus diperluas dan diperkuat. Pemerintah perlu memfasilitasi pelatihan kewirausahaan, akses pasar digital, dan inkubasi usaha mikro berbasis potensi lokal. Misalnya, desa yang memiliki potensi pariwisata bisa dikembangkan menjadi desa wisata dengan pelatihan manajemen pariwisata dan promosi digital.

Kedua, literasi digital desa harus dipercepat. Internet bukan lagi fasilitas mewah, melainkan kebutuhan dasar. Dengan digitalisasi, desa bisa terhubung dengan pasar nasional dan global, serta memperbaiki pelayanan publik. Program Desa Digital yang sudah dimulai harus diperluas dengan infrastruktur dan pelatihan yang berkelanjutan.

Ketiga, pendampingan dan pemberdayaan harus lebih partisipatif. Pendamping desa tidak cukup hanya datang sebagai pengawas, tapi harus hadir sebagai fasilitator, mentor, dan motivator. Model kolaborasi kampus-desa, swasta-desa, hingga pemuda-desa perlu diperluas agar terjadi transfer pengetahuan dan semangat gotong royong baru.

Desa Mandiri sebagai Pilar Keadilan 

Desa yang kuat dan mandiri adalah benteng keadilan sosial. Di desa, kemiskinan struktural bisa diurai dengan pendekatan komunitas. Ketika desa memiliki keleluasaan mengelola sumber daya, merancang kebijakan lokal, dan memanfaatkan Dana Desa secara strategis, maka jurang ketimpangan bisa dipersempit.

Desa juga memainkan peran vital dalam ketahanan pangan dan ekologi. Lahan-lahan pertanian, hutan rakyat, serta sistem irigasi tradisional seperti subak di Bali, menjadi penyangga kehidupan kota. Jika desa rapuh, maka rantai pasok nasional akan terputus. Jika desa rusak, maka krisis lingkungan akan makin parah.

Sayangnya, masih banyak desa yang terjebak dalam pola konsumsi, bukan produksi. Banyak lahan tidur, petani usia tua, dan generasi muda yang enggan kembali ke desa karena merasa tidak ada masa depan. Ini alarm serius bagi masa depan bangsa.

Desa sebagai Pusat Regenerasi

Pertama, negara perlu mendorong reverse migration  arus balik anak muda dari kota ke desa. Ini bisa dilakukan dengan insentif usaha, permodalan berbunga rendah, dan ekosistem pendukung bagi young village entrepreneurs. Generasi muda harus melihat desa bukan sebagai tempat tinggal orang tua, tapi sebagai lahan bertumbuh dan berkarya.

Kedua, tata ruang dan kepemilikan tanah di desa harus dibenahi. Banyak konflik agraria muncul karena desa tidak dilibatkan dalam perencanaan ruang. Reforma agraria yang inklusif bisa mengembalikan hak-hak warga desa dan memastikan keberlanjutan pertanian dan kehutanan rakyat.

Ketiga, desa harus dilibatkan dalam perumusan kebijakan nasional. Musyawarah desa perlu diakui sebagai bagian dari proses demokrasi deliberatif. Apa yang dibutuhkan desa, harus berasal dari suara desa itu sendiri --- bukan hanya data dan asumsi dari pusat.

Membangun Indonesia dari desa bukan sekadar wacana politik. Ini adalah panggilan sejarah. Ketika desa bangkit, Indonesia akan kokoh. Ketika desa mandiri, keadilan sosial akan lebih mudah tercapai. Kita butuh keberanian untuk memulai pembangunan dari akar, bukan dari pucuk.

Mari jadikan desa sebagai rumah masa depan: tempat belajar, bekerja, dan hidup dengan bermartabat. Karena sejatinya, Indonesia bukan dibangun dari gedung pencakar langit  tapi dari lumbung padi, suara kentongan, dan tangan-tangan petani desa yang tak pernah lelah menjaga kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun