Bayangkan jika setiap desa di Indonesia memiliki satu produk unggulan yang mendunia. Bukan sekadar mimpi, inilah gagasan besar di balik gerakan "Satu Desa Satu Brand" yang mulai menggeliat di berbagai pelosok nusantara. Gagasan ini bukan hanya soal branding atau pemasaran semata, melainkan transformasi ekonomi dari akar rumput, sebuah jalan menuju kemandirian desa dan kebangkitan ekonomi nasional.
Potensi Desa Terlupakan
Selama bertahun-tahun, desa kerap dipandang sebagai wilayah tertinggal, tempat urbanisasi dimulai, dan pusat kemiskinan struktural. Padahal, desa menyimpan kekayaan yang luar biasa: sumber daya alam, kearifan lokal, tradisi, dan semangat gotong royong yang jarang ditemukan di kota.
Namun, potensi itu sering kali tidak tergarap dengan baik. Produk-produk lokal seperti kerajinan tangan, olahan pangan, dan hasil pertanian hanya dijual mentah atau dalam bentuk seadanya. Akibatnya, nilai tambah justru dinikmati oleh pihak luar desa. Inilah titik tolak dari pentingnya gerakan Satu Desa Satu Brand.
Satu Desa Satu Brand
Gerakan ini menekankan pada pentingnya desa memiliki identitas produk unggulan yang khas, terstandarisasi, dan mampu bersaing di pasar nasional maupun global. Tidak sekadar membuat logo atau kemasan menarik, tetapi membangun narasi, kualitas, dan konsistensi produk dari desa.
Misalnya, Desa Nglanggeran di Gunungkidul dikenal dengan cokelatnya, Desa Pujon Kidul di Malang dengan wisata desa berbasis pertanian, dan Desa Sambirejo di Sleman dengan kerajinan batu alamnya. Masing-masing punya cerita, punya daya tarik, dan punya brand.
Brand Itu Penting?
Brand bukan hanya nama atau kemasan. Brand adalah persepsi. Ketika sebuah desa memiliki brand, maka desa itu punya posisi di benak konsumen. Lebih dari itu, brand menciptakan kepercayaan, loyalitas, dan membuka akses terhadap pasar yang lebih luas.
Dalam konteks pembangunan desa, brand dapat mendorong munculnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang lebih profesional, memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan asli desa, dan menahan laju urbanisasi.
Tantangan Brand