Mohon tunggu...
Mokhammad Fajar
Mokhammad Fajar Mohon Tunggu... -

Inspirator Rahmatan Lil-alamin

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nurani Kepemimpinan dan Politisasi Kepemimpinan

22 Januari 2018   15:05 Diperbarui: 22 Januari 2018   15:05 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pudarnya  Nurani Kepemimpinan

Nurani dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah perasaan hati yang murni dan sedalam-dalamnya. Hal ini dapat dimaknai bahwa nurani adalah kebenaran yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada hamba-Nya agar dapat membedakan antara yang baik dan yang benar.  Dalam konteks kepemimpinan kita melihat di media massa maupun elektronik terkesan nurani kepemimpinan ( kepemimpinan yang sesuai dengan perasaan hati yang murni dan sesuai dengan kebenaran) telah pudar   dari dada para pemimpin atau mungkin calon pemimpin yang akan berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah tanggal 9 desember 2015 ini.

Seorang pemimpin yang memiliki hati nurani seharusnya memiliki niat yang tulus untuk membangun bangsa dan daerahnya, bukan untuk mengeruk kepentingan apapun bentuknya, yang akhirnya merugikan negara bahkan menjadikan rakyat semakin terpuruk. Dengan prilaku pemimpin yang tidak mengikuti hati nurani ini, maka berbagai masalah kepemimpinan hadir di negri ini.

Yang pertama adalah fakta korupsi. Hal ini dapat dilihat dari data bahwa Indonesia  sebagai negara paling korup. Political and Economy Risk Consultancy (PERC), sebuah lembaga konsultan independen yang berbasis di Hongkong, menempatkan Indonesia pada posisi sebagai negara juara korupsi di Asia selama sepuluh tahun lebih secara berturut-turut. 

Pada tahun 2006, Indonesia memiliki skor 8,16 yang berarti skor tertinggi yang mendekati angka sempurna sebagai negara paling korup di Asia. Data PERC menyebutkan bahwa selama 10 tahun lebih, sejak 1997-2006, dan hingga 2011, tingkat korupsi di Indonesia tidak mengalami perbaikan secara signifikan. Indonesia selalu berada pada peringkat teratas dalam praktek korupsi, sehingga selalu berada di atas rata-rata korupsi negara-negara lain.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menyebut, aparat penegak hukum selama semester I 2015 ini telah menyidik 308 kasus korupsi dan suap. Total kerugian negara dari kasus-kasus korupsi itu mencapai Rp 1,2 triliun, sedangkan kerugian karena kasus-kasus suap sebanyak Rp 475,3 miliar. "308 Kasus korupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 1,2 triliun dan nilai suap sebesar Rp 475,3 miliar," kata Wana dalam diskusi di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (14/9/2015).Di samping itu,  dari 308 kasus tersebut ICW juga mencatat tak kurang 590 orang dijerat aparat penegak hukum sebagai tersangka dalam semester I 2015.

Fakta korupsi di atas menunjukan pudarnya nurani para pemimpin, yang seharusnya mereka mendahulukan kepentingan bangsa dan rakyatnya, akan tetapi mereka lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebagai sebuah nasehat, apakah para pemimpin tidak takut ketika melakukan tindakan korupsi yang merugikan rakyat dengan sengaja, kelak akan dibalas dengan kutukan Tuhan yang sangat berat di akhirat ? Pertanyaanya selanjutnya, apakah mereka tidak menangis ketika melihat kondisi rakyat yang terjerat dengan kemiskinan, kesengsaraan, tidak memiliki tempat tinggal, dan banyak masalah sosial yang lain, sedangkan mereka dengan gagahnya menikmati hak-hak rakyat, yang seharusnya untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan dan menyelamatkan ya dari keterpurukan?

Yang kedua fakta ketidak percayaan rakyat pada pemimpin.Fakta pudarnya nurani kepemimpinan ini adalah hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemimpinya. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka golput ketika saat pemilihan. Tahun 2014 angka golput  pada pilpres mencapai 29,8% atau 56.732.857 suara. Angka golput Pilpres 2014 lebih parah dibanding Pilpres 2009 yang mencapai 27,7%. Bahkan lebih buruk dibanding Pilpres 2004 (yang hanya mencapai 24%). Data KPU menyebut, total warga yang berhak menggunakan hak pilihnya dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pilpres 2014 adalah 190.307.134. Namun yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 133.574.277 suara (data dari Harian Terbit), data ini dengan jelas mengindikasikan hilangnya kepercayaan kepada calon pemimpin, mereka selalu beranggapan bahwa siapapun pemimpinya akan sama kondisi mereka.

Ketidak percayaan kepada pemimpin juga terlihat dari tidak harmonisnya pemimpin dengan rakyatnya, rakyat tidak pernah membanggakan pemimpinya, tidak menjadikan pemimpin sebagai tokoh teladan dalam kehidupan mereka, yang ada adalah hujatan dan celaan kepada mereka. 

Hal jika terus berlanjut maka akan menjadi bangsa ini tida akan pernah maju, sebagaimana dalam sebuat teks hadits di sampaikan" "sebaik-baik pemimpin diantara kalian ialah pemimpin yang kalian cintai dan mencintai kalian, kalian mendo'akannya dan merekapun mendo'akan kalian, dan seburuk buruknya pemimpin diantara kalian ialah pemimpin yang kalian benci dan membenci kalian, kalian melaknatnyadan mereka pun melaknat kalian".(HR Muslim dari 'auf bin malik). 

Itulah kondisi pemimpin dan calon pemimpin saat ini, pemimpin tidak memiliki kewibawaan di mata rakyatnya, bahkan jadi ejekan dan ledekan bagi rakyat, inilah yang harus disadari oleh semua pemimpin. Karena jika hal ini terus berlanjut maka  dalam teks yang lain ancamanya adalah" Pemimpin adalah bayangan Allah SWT dimuka bumi.Kepadanya berlindung orang orang yang teraniyaya dari hamba hamba Allah SWT, jika ia berlaku adil maka baginya ganjaran, dan bagi rakyat hendaknya bersyukur. Sebaliknya apabila ia curang (zalim) maka niscaya dosalah baginya dan rakyatnya hendaklah bersabar. Apabila para pemimpin curang maka langit tidak akan menurunkan berkahnya. Apabila zina meraja lela, maka kefakiran dan kemiskinan pun akan merajalela.(HR. ibnu majah dari abdulah bin umar)"

            Hal ini harus disadari oleh semua pemimpin, untuk selalu menyadari agar melakukan perubahan agar hadir sebuah kepemimpinan yang cinta dan mencintai, yang saling mendo'akan dan mensejahterakan.

Berkembang Suburnya Politisasi Kepemimpinan

           Kepemimpinan saat ini adalah lawan dari kepemimpinan nurani, akan tetapi lebih pada kepemimpinan politis. Hadirnya pemimpin karena mendapatkan keberuntungan politik, sehingga mayoritas yang menjadi pemimpin adalah mereka yang memiliki uang yang banyak, atau mungkin backing yang kuat dibelakang mereka. Jadinya mereka karena uang yang mereka tebar untuk membeli suara rakyat, atau mereka menyebar rasa takut kepada warga agar memilihnya, karena jika tidak memilih akan diancam secara fisik ataupun yang lainya.

            Kepemimpinan seperti inilah yang lebih berkembang subur di negeri ini, sehingga selamanya bangsa ini sulit untuk maju dan berkembang. Kepemimpinan transaksional yang meniadakan kopetensi dan kebaikan pribadi pemimpin. Rakyat semakin dibodohi dan dibiaskan pemahamanya akan arti pentingnya kepemimpinan, sehingga rakyat benar-benar tidak mampu membedakan mana pemimpin yang baik dan yang buruk.

Bangun Bangsa Dengan Memilih Pemimpin Yang Kompeten

Dalam sejarah ummat manusia dapat kita amati peran pemimpin dalam membawa masyarakat atau negara bangsanya. Maju mundur suatu masyarakat atau negara-bangsa sangat tergantung pemimpinnya. Kita kenal pemimpin dunia yang membawa nama besar negara-bangsanya seperti Napoleon Bonaparte, Adolf Hitler, Mussolini, J.F.Kennedy, Ghandi, Ir. Soekarno dan sebagainya. Namun bila pemimpin tersebut lupa diri akan perannya sebagai pembimbing dan penggembala pengikutnya, dapat saja menjerumuskan pengikutnya ke lembah kenestapaan.

Rakyat seharusnya menyadari akan pentingnya pemimpin yang kompeten, yang memiliki kemampuan leadership, administratif dan komunikatif. Bahkan untuk saat ini pemimpin harus memiliki kecakapan entrepreneurship untuk mengembangkan rakyat menuju kemajuan dalam segala bidang. Yang terpenting adalah pemimpin yang memiliki keseimbangan spiritual, intelektua, emosional dan sosial. 

Merekalah pemimpin yang harus memimpin bangsa ini, sudah saatnya bangsa ini sadar akan realitas kepemimpinan, dari orde lama sampai baru bahkan reformasi bangsa ini belum merasakan perubahan positif, bahkan semakin membingungkan. Sehingga perlu adanya pemimpin muda berkopeten seperti indikator di atas untuk memimpin bangsa ini pada setiap levelnya, tinggalkan politisasi kepemimpin, hadirkan nurani kepemimpinan, walaupun berbeda partai jangan malu dan enggan untuk mengakui kopetensi yang lain, jangan sampai dibunuh karakternya dengan kampanye hitam, fitnah dan yang lainya. Ini adalah kerusakan moral yang dicela oleh semua agama, moral dan etika. Sudah saatnya nurani memimpin bangsa.

Identitas Penulis:

M.Samson Fajar, M.Sos.I

Dosen Fakultas Agama Islam Univ.Muhamamadiyah Metro

Direktur Pondok Putri Aisyiah Imadul Bilad kota Metro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun