Mohon tunggu...
Gaharu Online
Gaharu Online Mohon Tunggu... Guru - Ibnu Rusid

Provinsi Nusa Toleransi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sekilas tentang Alor-Baranusa

28 Januari 2019   10:32 Diperbarui: 29 Januari 2019   11:37 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Oleh Jakaria. M. Sali, S.Kom.I., M.Ud

Secara administratif daerah Baranusa terletak diwilayah Kecamatan Pantar Barat Kabupaten Alor-Provonsi Nusa Tenggara Timur. Baranusa merupakan nama ibu kota Kecamatan Pantar Barat yang berpenduduk 99 % beragama islam. 

Sebelum dikenal dengan nama baranusa seperti sekarang ini, orang menyebutkan dengan istilah Bara saja, atau orang menyebutnya dengan nama Bara-merang/ Blangmerang, artinya orang-orang bara yang tinggal di dalam gubuk yang beratapkan alang-alang atau daun kelapa. 

Dan dalam satu gubuk tersebut tinggallah beberapa keluarga bersama sanak familinya, mereka ini membentuk komune (klan) dan tinggal bersama. Tinggalnya orang dalam merang ini, kemudian orang gunung menyebut mereka dengan istilah Bara-merang/Blangmerang).

Menurut Bapak Basonden Mau bahwa nama Baranusa itu sudah digunakan pada saat mereka tinggal berdekatan dengan orang-orang Pandai di daerah pantar bagian timur tepatnya di daerah Wai-Wagang, karena menurut sejarah lokal bahwa orang Pandai dan Baranusa merupakan satu keluarga dari satu keturunan yang sama yaitu keturunan Wae Wuno Sere.

Orang Baranusa yang mendiami tanah baramerang saat ini merupakan keturunan dari Bara Mauwolang salah satu putra dari Wae Wuno Sere, yang menurut sejarah lokal, mereka bermigrasi dari tanah Wai Wagang hendak ke Pulau Jawa menggunakan perahu yang bernama Susundara, tapi ternyata perahu mereka rusak dan mereka singga di daerah Bagang bagian atas (Abbang Waiwasing), kemudian mereka diminta oleh raja Siggang yaitu Raja Rupa Take untuk menetap bersama mereka di kerajaaan Siggang.

Setelah itu keturunan Bara Mauwolang bersama sanak familinya yang tinggal di kerajaan Siggang bermigrasi lagi menempati tanah Pring Sina (Bayyang Onong) dan membangun kerajaan mereka sendiri yang diberi nama Kerajaan Baranusa yang dipimpin oleh Raja Boli Tonda, setelah itu mereka bermigrasi lagi ke Pulau Kura sebagai tempat tinggal sementara. 

Migrasi orang Baranusa ke Pulau Kura itu disebabkan oleh sebuah peperangan antara Kerajaan Baranusa deangan Kerajaan Siggang, yang dikenal dengan nama Perang Nuho Taung Bota.

Pada masa kependudukan Belanda masyarakat yang menetap di Pulau Kura diperintahkan oleh belanda untuk datang menetap ditempat sekarang yang dinamakan Baranusa yang menjadi Ibu Kota Kecamatan Pantar Barat sekarang. 

Tetapi masyarakat ada yang datang dan menetap, dan ada yang kembali lagi ke Pulau Kura, seperti yang kita amati saat ini banyak juga masyarakat yang mendiami Pulau Kura dengan jumlah penduduk kurang lebih seribu orang.

Menurut Kepala Desa Illu Bahron Boli Birang bahwa pada saat orang-orang Baranusa menempati tanah Piring Sina ada beberapa kebudayaan yang dibentuk oleh Raja Boli Tonda bersama beberapa kepala suku, yaitu : 1) Beku Baranusa (tarian lego-lego), 2) Bajo Apa Orong Liang (tradisi tumbuk padi secara bersama menjelang pesta pernikahan dengan menyanyikan syair-syair tradisional); 3) Gala Soro (tarian penyembutan); dan 4) Tarian Dani-Dana yaitu suatu tarian yang dilakukan oleh beberapa orang diringi dengan irama gambus.

Disamping beberapa tradisi yang dibentuk oleh Raja Baranusa seperti tergambar di atas, ada lagi ragam tradisi lain yang berkembang secara alamiah menuju arah kesempurnaan, salah satu diantaranya adalah Tradisi Perkawinan dalam Adat Masyarakat Baranusa.

Menurut Bapak Muktadir Latif bahwa ada tiga macam perkawinan yang terdapat pada masyarakat baranusa, antara lain; 1) Pohi Nawung, 2) Suka Sama Suka, 3) Gere Uma, dan Kawin Lari (Palae).

Selain itu Beliau juga mengatakan bahwa tradisi perkawinan dalam adat Baranusa memiliki beberapa tahapan, diantaranya : 1) Melamar (Pilling Malu Banga), 2) Kumpul keluarga (Kakari) 3) Pesta penentuan Waktu (Tang Allo Nikah) yang diserta dengan Gou Opung-Anang dan Pau Opung-Anang; 4) Pesta Pernikahan (Haja Matang) yang disertai dengan tullung dan pohing, 5) Bapang Pukkong, 6) Guo Kawae dan antar Kawae.

Model dan tahapan perkawinan dalam adat Baranusa tersebut, menjadi sebuah warisan kebudayaan yang ditransformsika
n secara turun temurun pada tiap generasi. Hal tersebut menjadi dasar bagi penulis untuk mengkaji berbagai macam kebudayaan yang terdapat dalam Adat masyarakat Baranusa sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal yang belum terungkap kepermukaan.

Dalam penilitian ini, dapat diketahui bahwa masyarakat baranusa sebagai suatu masyarakat adat yang memeiliki rasa solidaritas sosial yang tinggi dari berbagai aspek. Indikator sederhana yang kita jumpai adalah masyarakat baranusa sendiri terdiri dari beberapa suku/klan, dan setiap klan memiliki beberapa marga (fam) yang berbeda-beda, namun memiliki rasa solidaritas yang tidak bisa dibantahkan. 

Secara umum ada empat klan yang mendiami tanah baranusa, yaitu, suku uma kakang, suku maloku, suku hale-weka dan suku sandiata. Dan dari keempat suku tersebut dalam acara perkawinan mereka saling bahu-membahu untuk menyukseskan hajat perkawinan yang dilakukan oleh seseorang. 

Bukti saling bahu membahu tersebut diwujudkan dalam bentuk acara kakari dan opung anang dalam pesta Tang Allo Nikah dan Pesta Pernikahan (Haja Matang)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun