Mohon tunggu...
ia Risoyo
ia Risoyo Mohon Tunggu... Insinyur - Risoyo ArtVenturer

an Engineer with Travelling, Master of Ceremony (MC), and Writing Interest

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Katasthrope, Kisah Antara Sepoi dan Barat

1 Oktober 2020   21:28 Diperbarui: 1 Oktober 2020   21:35 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.psychologymania.com/ 

Sepoi, begitulah cara orang-orang memanggilku.  Sosok yang polos dan selalu setia menemani mereka.  Pribadi yang tak dapat melawan perubahan zaman.

Kususuri jalan setapak yang sudah menerjal, curam dan penuh genangan air. Becek. Hujan baru saja reda.  Semayup suara kecipak, butir-butir air jatuh dari pucuk daun mahoni. Daun-daun kering berserak. Aroma tanah basah, bau hancing daun dalam genangan menyeruak, mengingatkanku pada lima tahun silam.......

Kicau burung-burung tilang terdengar merdu dari pucuk pohon mundung dan lasep. Kutengok sudut lain, tampak sekelompok kumbang mencuri pekerjaan para kupu. Sang mawar pun tampak malu dengan menggoyang-goyangkan mahkotanya. Ingin ku turut serta, kuhempaskan tubuhku menambah tarian para bunga.

Burung-burung camar bergerombol ke selatan. Melawan sisa-sisa kabut tuk tinggalkan bukit. Mencari usapan gizi, itulah yang harus dilakukan selama setengah hari. Waktu berganti, hari melangkahkan diri, semua itu bak sebuah perputaran. Terus terjadi dan terjadi.

Dalam kebiasaan ini, aku tak tahu apakah diriku cukup berguna. Yang pasti, kawan-kawanku selalu memintaku tuk membantu mereka beradu layang-layang dengan anak desa tetangga. Sesungguhnya pun aku tak mengerti apa yang harus kulakukan. Seakan-akan akulah yang menentukan permainan, tanpa kehadiranku mereka tak yakin tuk melakukannya.

"Sepoi, cepeto lek mbrene !!" rekah senyum wajah polos mereka membuatku bahagia.

"Ayo gelek endang lekasi !" aku menimpali.  Tak seorang pun menjawab.  Ah biarlah ku tak menghiraukannya, toh tawa mereka sudah membuatku senang.

***

Ketika senja beranjak ke ranjangnya pun kawan-kawanku tetap mencariku. Yah, mereka tak mau absen ngaji di surau, atau bayang-bayang lampor muncul di benak mereka. Begitulah cerita yang sudah dikarang nenek moyang turun-temurun. Yang pasti anak kecil gak boleh kakean polah ba'da maghrib sampai isya.

Di lain sisi, anak-anak itu membenci Barat, teman seperjuanganku. Tanpa komando, aku juga menolak keberadaan Barat. Bagaimana tidak, dengan keberadaan Barat mereka tak mampu melanjutkan ngaji.  Lilin-lilin kecil yang diletakkan antara bedug dan kentongan akan berulang kali memejamkan matanya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun