Mugkinkah aku pantas bertanya, "Di manakah kawan-kawanku ?" tak ada lagi lahan bermain. Gundukan lempung-lempung basah menjelma menjadi area produksi polusi. Menjulang tinggi beton-beton pembatas diri. Asap-asap hitam menari-nari menuju angkasa. Tak jarang pula para kaleng dan cairan hitam pekat berenang di antara aliran air yang keluar dari pusat kebisingan itu.
Monster-monster raksasa memamerkan setiap bagian gigi runcingnya. Menghantam segala sesuatu yang dijangkaunya. Begitu pula tanah-tanah subur itu. Ia lahap, ia muntahkan di atas tubuh monster lain, dan kemudian dibawa entah kemana. Sungguh pemandangan yang menyedihkan.
Tak ada lagi yang leluasa berdiri di sini, kecuali diriku seorang. Menyaksikan monster-monster itu mencabik-cabik setiap kenangan yang ada. "Bah, buat apa aku banggakan ini, toh aku hanya sendiri." Cerita ini seakan mengalihkan perhatianku akan sebuah revolusi.
Kuhempaskan diriku ke utara, seakan-akan harus dapatkan jawaban akan pertanyaan ini. Mengais misteri akan sebuah perubahan terjadi.
Kupalingkan wajahku, mensurvey setiap gejala yang terjadi di sekelilingku. Bahkan, tak satupun ku jumpai kumbang dan tilang. Hanya sayup-sayup terdengar kidung jangkrik menggoda telinga.
Kuhentikan diri di antara ilalang. Berusaha menikmati alunan tersebut. Alunan lagu mereka makin keras, bahkan saling bersahutan. Akan tetapi, bila aku dekati suara-suara itu menghilang seketika.
"Hai jangkrik, mengapa kalian berhenti bernyanyi?"
"Kami lapar sekali."
"Makanlah, mudah kan masalah usai."
"Dimana kita bisa dapatkan makanan? Toh, ladang tempat kami hidup telah menghitam dan keras."
Kuperhatikan sekitar, tak ada lagi padang rumput. Semua ini telah menjelma indah, sebuah neraka bagi kaum jangkrik ini.