Terkait hal ini, Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun menawarkan sebuah prinsip mengenai batasan akal dalam beragama, bahwa "Segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal maka gunakanlah ilmu, dan segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh akal maka gunakanlah iman". Pemaparan Cak Nun di atas kurang lebih telah mengingatkan kewaspadaan kita akan batasan akal pada dimensi ilmu dan iman yang terkadang masih tampak samar.Â
Ilmu memiliki kapasitas penuh pada wilayah yang bisa dijangkau dengan akal, namun pada wilayah yang tidak bisa digapai dengan akal, iman memiliki otoritas di dalamnya. Sebagai contoh peristiwa Isra' Mi'raj Rasulullah Saw., Jika dikaji melalui pendekatan rasionalitas manusia, peristiwa tersebut seakan sulit dicerna oleh nalar, bahkan ilmu pengetahuan belum sepenuhnya mampu memberikan penjelasan berbasis ilmiah. Peristiwa Isra Mi'raj sebenarnya merupakan ranah keimanan yang mana tidak membutuhkan banyak penalaran, sebab akal manusia sangat terbatas dalam memahami hal ini. Di balik peristiwa tersebut tentunya menyimpan suatu pelajaran, bahwa Isra' Mi'raj merupakan momentum Allah ta'ala  untuk mengukur kadar keimanan para hambanya, mana yang tegguh keimanannya, dan mana yang memiliki keraguan.
Dalam pembahasan ushul fikih setidaknya kita telah mafhum dengan konsep maqasid syariah yang salah satu isinya memuat anjuran hifdzul aql atau memelihara akal. Perkara menjaga akal merupakan suatu yang sangat esensial dalam beragama, terutama untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Melalui hifdzul aql, syariat berupaya menutup berbagai potensi yang dapat merusak kewarasan nalar manusia, sehingga menghindarkan manusia dari kerancuan dalam berpikir.