Mohon tunggu...
ian sancin
ian sancin Mohon Tunggu... Seniman

Penulis Novel Sejarah Yin Galema.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggalorkan Kota Karang dan Kota Tanah Cerucok

9 Juni 2025   12:50 Diperbarui: 9 Juni 2025   22:42 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Karang  Tanjong Aik Simba. didirikan Kiahi Agus Usman, selanjutnya; Kiahi Agus Hatam, Kapten de la Motte, Tjengkaw (foto Yanto)

MENGGALORKAN KOTA KARANG dan KOTA TANAH CERUCOK

Oleh Ian Sancin

            Dikenal dengan nama Kota Karang atau "Kute Karang" karena bahan bangunan kota, kota adalah bangunan benteng, benteng adalah sarana pelindung pemukiman, bahannya itu terbuat atau memakai batu karang  diambil dari dasar laut. Itu karena pada masa itu belum ada penambangan batu alam dari daratan buat dijadikan bahan bangunan, kecuali bahan baku kayu yang dapat dengan mudah diperoleh dari hutan. Batu batu karang itu dipakai sebagai pondasi, sebagai galang tanah, sebagai tapak jalan, serta kegunaan lainnya.

            Istilah Kota Karang pertama kali muncul di hulu sungai Cerucok tepatnya di bawah kaki gunong (gunung) Kenupuk di muara sungai Aik Siemba atau Semba, atau Simba yang terhubung ke sungai Cerucok (Cerucok merupakan sungai utamanya). Di masa kini, sungai Aik Simba sebagian alirannya diarahkan untuk mengairan sawah di Kampung Desa Cerucok. Sedangkan gunong Kenupuk saat ini di sekitarnya dipakai untuk kebun oleh penduduk sedangkan lokasi Kota Karang masih terbiarkan tak terawat. Sisa sisa batu karang sebagian besar telah diambil orang sedangkan yang tersisa batu batu yang sulit diambil misalnya yang terjepit atau terlilit  akar pohon pohon kayu ara.

Kota Karang di masanya sudah beberapa kali beralih fungsi oleh penghuni yang menempatinya. Ia bermula atau dibangun oleh Ki Agus Usman yang pindah dari Balok Baru (hulu sungai Balok) di masa pemerintahan Depati Cakraningrat V Kiahi Agus Abudin (1740-1755). Perpindahan Ki Agus Usman dari Balok Baru hulu sungai Balok ke hulu Sungai Cerucok. Nama cerucok bermula dari pemukiman di Kota Karang. Cerucok artinya mencocokan atau membenamkan batang kayu untuk dijadikan galangan tanah pinggiran sungai agar pinggirannya tak abrasi. Pembangunan cerucok ini menjadikan sungai itu dinamai sungai Cerucok. Para pendatang mengenal dermaga Kota Karang dengan pemandangan adanya cerucok kayu tersebut. Cerucok kayu menahan pinggiran sungai sedangkan batu karang menahan tebing miring dari daratan miring gunong Kenupuk (orang Belitong di masa lampau menyebut semua bukit dengan sebutan gunong)

Ki Agus Usman membangun Kota Karang sebelum tahun 1755, artinya beliau secara tidak langsung mempersiapkan tempat tersebut sebelum dirinya menjadi Raja belitong atau Depati Cakraningrat VI pada 1755 hingga 1785. Sebab kehadiran beliau sebelumnya bukanlah hendak menjadi raja tapi menghindari ketegangan dari perbalahan terhadap abang kandungnya Kiahi Agus Abudin yang semena mena itu.

Setelah Kihi Agus Usman (setelah menjadi raja sebutan "Ki" berubah menjadi "Kiahi") menjalankan masa pemerintahannya di Kota Karang, putra mahkota Ki Agus Hatam pun menikah dan sesuai adat yang sudah mentradisi apabila ada anggota keluarga yang sudah berumahtangga maka ia mesti pindah dari rumah orangtuanya atau tak boleh membangun rumah kediaman di halaman rumah orang tuanya.

Arah letak pembangunan tempat tinggal pun tak boleh berada di posisi depan rumah orang tua, maka secara tradisi seorang anak atau saudara yang usianya lebih muda mesti berdiam atau tinggal di posisi belakang. Karena itu, sang putra mahkota Ki Agus Hatam diperkenankan membangun rumah di arah hulu sungai Cerucok yaitu dekat pengkalan kapal kerajaan di Aik Lembong, lokasi itu terletak lebih ke hulu dari Kota Karang.

Meski Aik Lembong tak begitu jauh dari Kota Karang Tanjung Simba (Aik Siemba) yang juga masih dalam kawasan  namun pilihan tempat tinggal itu memang sangat pas karena lebih memudahkan Ki Agus Hatam dalam mengawasi menambangan timah yang dikerjakan oleh orang orang Lingga. (dan nantinya ketika di masa Ki Hatam tambang itu dikerjakan oleh orang China yang didatangkan dari Singapura).

Selain pengawasan tambang tugas beliau juga memimpin pemeliharaan kapal dan perahu kerajaan di Aik Lembong itu. Pilihan Aik Lembong sebagai pengkalan kapal atau perahu merupakan alur sungai terdalam di situ, terasiring penahan tanah pinggiran dermaganya dibangun menggunakan kayu cerucok dan batu karang sama seperti di Kotang Karang. Hanya saja dibagian seberang dermaga itu terdapat tanah tinggi berbukit, di situlah rencana Ki Agus Hatam bakal membangun istana kediamannya.

Ketika pembangunan bakal istana baru pada tahap penggalian bandar-bandar tanah di pinggiran sungai sebagai pondasi benteng yang bakal ditata dengan batu karang, terjadilah peristiwa tragis yaitu tewasnya sang Ramonda (ayah) dari Ki Agus Hatam.

Tewasnya Kiahi Agus Usman terjadi di tahun 1785, pada pertempuran laut Kalamoa (Pulau Kalimuak di muara Sungai Cerucok). Pertempuran tersebut antara pasukan yang dipimpin Depati Kiahi Agus Usman dengan pasukan yang dipimpin Syaid Ali dari Siak. Jasad Kiahi Agus Usman diberitakan hilang di laut saat mengejar pasukan musuh hingga ke laut Sambas.

Setelah dirasakan cukup upaya pencarian jasad Kiahi Agus Usman dinyatakan mangkat hilang di laut maka Ki Agus Hatam bertakhta menjadi Depati Cakraningrat VII. Dan Kota Karang di Aik Lembong yang sedang dibangun buat istananya itu ditinggalkannya. Ia mesti bertakhta di Kota Karang Tanjung Simba Gunong Kenupuk.

Untuk tambang timah yang dikerjakan oleh orang Lingga ditutup. Setelah sekian lama Kiahi Agus Hatam memerintah, beliau membuka kembali tambang namun tak lagi dikerjaka oleh orang Lingga tapi oleh orang orang China didatangkan dari Singapura itu, beliau juga memperistri seorang China beranama Nilamsu, alias Ansue Nila (dikenal sebagai Bunda Suri dengan gelar Dayang Kuning)

Nantinya, di masa pemerintahan Cakraningrat VIII Depati Kiahi Agus Rahad (anak dari Kiahi Agus Hatam) maka untuk penghormatan terhadap Kiahi Agus Hatam alias sang Ramonda maka ketika beliau wafat dimakamkan di tempat rencana pembuatan istananya itu. Tempat pemakaman itu dijenangkan oleh Kiahi Agus Rahad. Di kemudian waktu lokasi pemakaman tersebut disebut Kota Tanah (Kute Tana) kota yang belum terbangun utuh masih berupa galian tanah. Juga di kemudian waktu ketika Dayang Kuning (salah seorang istri Ki Agus Hatam, beliau juga dimakamkan di situ, dikenal penduduk sebagai nisan makam yang tak menyentuh tanah karena beliau seorang mukhalaf juga memiliki ilmu kabatinan).

Kota Karang di Tanjung Siemba gunong Kenupuk dibawah pemerintahan Kiahi Agus Hatam berkibar. Di masa beliau wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris. Hanya saja Inggris tak berani masuk ke Kota Karang karean sang raja banyak memiliki pasukan dari para lanun atau bajak laut. Kapal kapal milik Eropa sering dirampok dikandaskan bahkan ditenggelamkan. Pada masa ini juga hubungkan Kiahi Agus Hatam dengan Raden Keling (penguasa Toboali) sangat baik. Raden Keling dari keluarga Sultan Badaruddin Palembang, beliau terkenal sebagai pembuat Meriam, dan bahan besinya sebagian berasal dari pasokan Kiahi Agus Hatam.

Ketika perlawan Raden Keling terhadap Inggris di Toboali, seorang inspektur tambang bernama Brown dibunuhnya hingga beliau dikejar hingga  menghindar ke Belitung dan sementara itu Kiahi Agus Hatam pun "menguras" isi dan awak kapal Abercrombie milik Inggris yang dirompak para bajak laut.

Dari dua peristiwa itu Inggris memiliki alasan untuk menyerang ke Kota Karang Belitong. Tapi tak semudah yang diinginkan oleh Inggris hingga inggris kemudian menggunakan pasukan yang dipimpin oleh Raja Akil yang oleh orang Belitong dikenal dengan sebutan Tengku Akil yang berasal dari Siak.

Raja Akil bebearapa kali menyerang tapi dapat dipatahkan oleh pasukan Kiahi Agus Hatam hingga kemudian Raja Akil mesti membuat pusat pertahanan penyerangan dari daratan, dan pertahanan itu ada di Sijok (utara Belitong). Siasat penyerangan dari daratan dilakukan ketika kepastian jalannya masuk ke Kota Karang didapatkan.

Tahun 1815 Kota Karang, di subuh buta, dibumihanguskan oleh Raja Akil. Sisa pasukan kecil dari Panglima Luso dan Raden Keling dapat menyelamatkan anak anak Kiahi Hatam. Perlawanan tak terhenti sampai di situ. Karena Panglima Luso mesti merebut kepala Kiahi Agus Hatam yang di tangan Raja Akil (bukti keberhasilan Raja Akil untuk Inggris) usaha perebutan itu dibantu pasukan dari Belantu dan Badau. Perlawan terjadi hingga Tengku Akil dan pasukannya hengkang dari Belitung.

Pada masa pemerintahan Kiahi Agus Rahad alias Cakraningrat VIII, Kota Karang yang sudah dibumihanguskan itu tak lagi ditempati oleh sang Raja. Kiahi Agus Rahad lebih memilih bertakhta di Tanjong Gunong, wilayah yang ada di muara Sungai Cerucok yang berdampingan dengan Kampong Ume atau Kampong Raje yang sudah ada sejak 1755 itu. Pemilihan tempat itu sebenarnya menyalahi adat (aturan tradisi) sebab seorang keluarga yang lebih muda tak boleh membuat tempat tinggal di depan orang tua atai keluarga tua. Namun pilihan keamanan lebih jadi pertimbangan. Mjusuh yang datang dari laut akan lebih mudah dipantau. Karena itu pilihan Tanjong Gonung yang memang memiliki bukit cukup tinggi itu menjadi pilihan terbaik (hutan bukit itu juga yang melindungi dirinya dari kejaran pasukan Raja Akil)

Bukit kecil di Tanjong Gunong menjadi bukit pengawas hingga kemudian tanjong ini disebut Tanjong Pandangan (guna mengawasi atau memandang kapal kapal yang memasuki muara). Tanjong pandangan lambat laut orang melafaskan sebutan itu menjadi "Tanjongpandan" yang kebetulan juga di ujung tanjung muara itu banyak terdapat pohon pandan laut.

Kota Karang di masa pemerintahan Kiahi Agus Rahad mengalami beberapa fungsi dan penghuni. Pada masa kedatangan Kapten de La Motte yang membawahi pasukan militer dan sipil utusan Hindia Belanda guna mengusai Belitong. Pada 31 Okober 1822 Kota Karang Tanjong Simba atau Tanjong Aik Simba berdiri  benteng permanen oleh Kapten de La Motte. Sebelumnya tempat tersebut sudah dijejaki oleh Syarif Mohammad (orang Palembang untusan Hindia Belanda untuk bernegosiasi dengan penguasa Belitong yaitu Kiahi Agus Rahad) Syarif Mohammad menggantikan tugas Raja Badar alias Raden Badar tapi kerja Raden Badar tak memuaskan pihak Hindia Belanda, Raden Badar lebih kooperatif ke pihak keluarga raja Belitong.

Syarif Mohammad menjejadi ada tiga bukit yang bakal dijadikan pilihan untuk membangun benteng. Pertama bukit Simbang atau bukit Simba letaknya antara muara sungai Aik Seburik dan  Tanjong Batu Tembelan terletak di paling muara Sungai Cerucok (bukit ini di belakang Museum Tanjungpandan saat ini). Bukit kedua  ada di Tanjong Gunong di muara sungai Aik Berutak tapi di sisi bukit tu juga ada istana Kiahi Agus Rahad. Bukit ketiga adalah bukit Kenupuk di Tanjong Simba yiatu bekas Kota Karang.

Kiahi Agus memberikan pilihan jika mau menancapkan (mengibarkan) bendera Hindia Belanda boleh dilakukan di Tanjong Simba Gunong Kenupuk di bekas Kota Karang. Namun kemudian stelah benteng itu berdiri Kapten de La Motte menyadari bahwa benteng itu terlalu jauh dari pusat pemerintahan sehingga berunding lagi dan atas restu Kiahi Agus Rahad diperkenankan mendiami bukit Simba di Batu Tembelan (belakang museum Tanjungpandan saat ini) hanya saja masa pendudukan Kapten de La Motte tak lama, ia segera ditarik.

Benteng Kota Karang atau Tanjong Simba bukit Kenupuk yang ditinggalkan Kapten de La Motte menjadi gudang tambang timah yang dikerjakan oleh penambang China yang sebelumnya memang dibawa serta oleh Kapten de La Motte. Orang orang China ini terus bekerja hingga datangnya pengganti Kapten de La Motte yaitu Asisten JW Bierschel yang dikawal oleh Kapten Khuen.

Masa Asisten JW Bierschel, lokasi benteng dibangun di atas bukit Tanjong Gunong dengan bahan diambil dari bekas benteng di Tanjong Simba Kota Karang. Benteng Tanjong Gunong didiami oleh Kapten Khuen, sementara rumah tinggal asisten residen berderet dengan istana Kiahi Agus Rahad. Jalan pendek yang ada istana dan rumah asisten residen Bierschel ini disebut "Jalan Tuan".

Bangunan di masa terakhir dari di Kota Karang Gunong Kenupuk muara Aik Simba atau Tanjong Simba. (foto Ian Sancin)
Bangunan di masa terakhir dari di Kota Karang Gunong Kenupuk muara Aik Simba atau Tanjong Simba. (foto Ian Sancin)

            ------------------------------------------------------------------------------------

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun