Namun  seorang dukon Kampong hanya bisa berada dan  menetap di wilayah pemukimannya saja. Dukun Kampong inilah yang mengatur tata cara adat terhadap wilayahnya baik mengenai tanah pemukiman, tanah hutan, tanah sungai, tanah ume, dan tanah utan riding (hutan larangan).
       Selain mengatur tanah adat dan tradisi adat, Dukon Kampong juga membawahi beberapa dukon lainnya misalnya Dukon Angin, Dukun, Dukon Sungai dan laut, Dukon Utan, Dukon Ubat, Dukon Beranak (Pengguling), dan para dukon lainnya.
       T a n a h  A d a t  U r a n g  B e l i t o n g  B e r d a s a r k a n   P e n g u a s a n y a
Â
Â
       T a n a h  A d a t  D e p a t i
       Tiap tiap penguasa wilayah tanah adat di Belitong memiliki aturan (adat)nya masing masing mulai dari penguasa tertinggi hingga ke bawahnya. Penguasa tertinggi di masa lampau secara adat adalah raja Belitong sebagai penguasa dan pelindung negerinya yaitu seorang raja dengan pangkat Depati (Depati dibawah perlindungan Sultan).
Depati melindungi tanah tanah adat penguasa yang ada di bawahnya mulai dari Ngabehi dan seterusnya. Penguasa tertinggi di Belitong dikenal dari turunan atau dinasti raja Balok (tempat bermulanya Kerajaan Balok). Dinasti ini dikenal juga dengan debutan "Raja Belitong" itu karena sejak 1618 membawahi beberapa raja kecil di empat wilayah yang ada di Pulau Belitong (Badau, Buding, Belantu, dan Sijok).
Bentangan tanah adat depati (tanah di bawah aturan adat tradisi serta aturan dibawah kekuasaan Depati) wilayahnya sangat luas membentang mulai dari Barat hingga Timur dan ke Tenggara Pulau Belitung. Di tanah adat itu aturan tradisi tetaplah berlaku hingga kini.
       Sementara adat atau aturan yang dibuat Raja Belitong (depati) terhadap tanah di wilayah kekuasaannya tidaklah mengubah aturan aturan sebelumnya yang berlaku, baik aturan (adat) tanah bekenaan dengan hutan, sungai, pemukiman, dan lain sebagainya.  Namun raja tetaplah menyesuaikan aturan guna kebutuhan adat yang sudah mentradisi sejak lama, misalnya berkaitan adat tradisi begawai (acara tradisi pesta pernikahan) karena penduduk semakin banyak, maka raja mengeluarkan aturan adatnya yang mewajibkan setiap penduduk sudah menikah agar tidak tinggal di Lokasi atau di tanah pekarangan milik orangtuanya, dan jika membangun rumah mesti menyediakan halaman, itu berguna buat perhelatan tradisi begawai, dan tanah pekarangan tersebut tak boleh berpagar. Namun di masa modern ini ketentuan adat mengenai tanah pekarangan itu nampaknya sudah jarang diperhatikan terutama di wilayah perkotaan.
Depati (raja penguasa tertinggi) memiliki tanah wilayah paling luas  dari bawahannya maka dia juga berkewajiban untuk menyejahterakan penduduknya, maka dalam adat (aturan) terhadap tanah di wilayah tersebut ada tanah tanah yang tak boleh dirambah atau dirusak guna tetap terjaga kelestariannya, itu agar rakyatnya bisa mengambil hasil hutan dan sungainya secara berkesinambungan, wilayah tersebut adalah; Hulu Sungai Kembiri, wilayah Tanjung Kelumpang, serta Hulu Sungai Lenggang. Namun saat ini Ketika di masa NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tanah tanah ini nampak sudah kehilangan fungsi adatnya. Usaha yang mengatasnamakan ekonomi menjadi penyebab utamanya.