Mohon tunggu...
Ian Hidayat
Ian Hidayat Mohon Tunggu... Penulis - Sedang bercanda cita

Menempuh pendidikan di UIN Alauddin Makassar dengan beasiswa dari orang tua

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Resensi Buku Sembhyang Bhuvana: Sembahyang di Timur Indonesia

5 Juni 2022   19:10 Diperbarui: 5 Juni 2022   19:11 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kurang lebih 4 dasawarsa lalu lahirlah bakal calon seniman sekaligus aktivis lingkungan. Tempatnya di Pulau Bali, tempat para dewata diagungkan, dibangunkan pura, dijaga mitologi mitologinya, baik melalui lisan ke lisan hingga dalam kisah hikayat hikayat yang abadi dalam kitab kitab.

Kurang dari 2 dasawarsa kemudian mulailah dikenalnya namanya di publik setelah pidatonya menggelagar menyuarakan tentang krisis iklim. Namanya Sarasdewi, Saras Dewi bernama lengkap L.G. Saraswati Putri lahir di Denpasar, Bali. Ia adalah anak sulung dari sepuluh bersaudara dari pasangan yang berbeda keyakinan. Setelah lulus SMA, Saras memilih Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia. Dari sarjana hingga bergelar doktor, Saras konsisten dengan mendalami filsafat.

Tulisan kali ini tidak mendalami tentang siapa Saras Dewi, tapi menarik apa yang dibahas oleh penyanyi dengan album Lembayung Bali tersebut. Saras adalah dosen di Universits Indonesia, mengajar mata kuliah Eksistensialisme, Filsafat Timur, Etika Lingkungan, Filsafat dan HAM, Fenomenologi, dan Filsafat Sastra. Pada bulan Juli 2013.

Sampai tulisan ini ditulis Saras akan meliris buku ke 5 nya. Salah satu karyanya yang abadi dan akan kita bahas pada kesempatan ini adalah Sembahyang Bhuvana. Sembahyang Bhuvana secara khusus membahas secara filosofis tentang tubuh, seni, dan lingkungan. Hal-hal yang sangat erat hubungannya dan selalu berdampingan dengan kehidupan setiap manusia.

Menarik ketika Saras membahas Laut dengan pendekatan kasus masyarakat Bali, tempatnya lahir. Setidaknya menggunakan pemaknaan dengan lebih luas seperti masyarakat Bali yang memaknai lautan dalam dua sisi, yakni sisi sekala dan niskala. Sekala adalah laut sebagai wujud yang tampak, dapat dikaji, diukur, dikategorisasikan, dan secara empiris dapat diperhatikan. Namun, dari sisi niskala, laut memiliki sisi yang subtil dan tersembunyi dari persepsi objektif manusia.

Saras juga menghadirkan kisah perjuangan masyarakat Bali memperjuangkan lautnya dari aktivits reklamasi yang mengancam Teluk Benoa. Pemahaman laut disana tidak sedangkal iming iming terhadap kehidupan setelah kematian. Tapi juga pengalaman terhadap kehidupan manusia dengan alam.

Di Pulau Sulawesi ada kitab La Galigo, karya sastra terpanjang dunia juga mengkisahkan relasi manusia dan laut. Dikisahkan bagaimana laut menjadi elemen penting dalam kosmologi tersebut. Tokoh Sawerigading dan legenda pelayarannya menjadi kisah yang memikat. Dalam kisah hikayat terdahulu memang masyarakat Sulawesi dikenal sebagai pelaut ulung, hal tersebut dapat dibuktikan dengan kendaraan kendaraan laut yang berasal dari Sulawesi. Sebut saja Kapal Phinisi yang masih lestari di Kabupaten Bulukumba, kapal kayu penjelajah samudera samudera di dunia. Atau sandeq mandar, perahu ini adalah perahu tanpa mesin tercepat.

Saras Dewi adalah pemerhati lingkungan sekaligus dosen di UI. Saras Dewi dalam tulisannya tidak ragu mengutip warisan budaya di Sulawesi semisal La Galigo, sayang saja Saras Dewi bukan dari Sulawesi dan namanya tidak dikenal di Sulawesi. Dalam bukuny ia tidak mengisahkan kondisi laut Sulwesi yang mulai terpuruk.

Setidaknya romantika masa lalu tentang ulungnya masyarakat Sulawesi dalam mengarungi lautan hanya menjadi kisah kisah romantis yang dikisahkan ke anak cucu. Banyak laut dan pantai rusak akibat serkahnya pembangunan. Panti Losari misalnya, kini bentangan pantai tersebut tidak lagi dihuni kapal kapal nelayan.  Beton beton itu kini lebih mendominasi daripada biota biota laut yang seharusnya hidup di tempat itu.

Di lokasi perumahan mewah dekat pantai Losari berdiri sebuah rumah ibadah megah hasil kerjasama Pemprov dengan pengembang.  Tidak ada maksud menolak pembangunan rumah ibadah. Namun, negara seharusnya mengakomodasi kepentingan lingkungan hidup di laut tersebut. Mengingat jug laut di bagian tersebut berdampak bagi daya hidup masyarakat sampai lingkup Galesong.

Tentu kita tidak mau masjid 99 kubah yang megah dan agung jug menjadi simbol penggusuran di Sulawesi kuhusunya Sulawesi Selatan. WALHI Sulsel bersama masyarakat pesisir Makassar dan Galesong yang terdampak proyek CPI meminta agar rencana pembangunan Masjid 99 Kubah di lokasi CPI tidak diteruskan atau dihentikan. Selain itu, WALHI meminta agar pembangunan masjid tersebut dibangun di lokasi lain yang lebih baik yakni di lokasi yang bebas dari konflik dan pelanggaran HAM.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun