Saya kira tepuk tangan itu cuma muncul kalau Manchester United berhasil mengalahkan Semen Padang. Ternyata sekarang sudah masuk ke ranah pernikahan.
Namanya Tepuk Sakinah.
Di negeri ini, sepertinya semua masalah bisa diselesaikan dengan jingle dan tepukan tangan.
Mau disiplin? Ada Tepuk Tertib Lalu Lintas—padahal yang jagain lalu lintasnya mungkin masih acak-acakan. Mau rumah tangga bahagia? Ada Tepuk Sakinah.
Seandainya besok kamu pusing lihat tagihan, mungkin akan lahir tepukan versi baru: Tepuk Jidat.
Apa Itu Tepuk Sakinah dan Kenapa Bisa Muncul?
Dulu banget, bimbingan pranikah identik dengan ceramah serius tentang hak dan kewajiban suami istri, fikih munakahat yang bikin ngantuk, dan motivasi membangun rumah tangga sakinah—yang belum tentu pembicaranya sendiri berhasil menjalaninya.
Kursi plastik berjejer, kipas angin berderit karena debunya jarang dibersihkan, suasananya kayak gabungan seminar dan pengakuan dosa massal.
Hingga kemudian, datanglah Tepuk Sakinah.
Konsep ini lahir dari para instruktur Bimbingan Perkawinan Kementerian Agama sekitar tahun 2018, saat workshop di Bali.
Salah satu penggagasnya, Prof. Alimatul Qibtiyah dari UIN Sunan Kalijaga, bilang yel-yel ini sebenarnya lahir dari niat baik: membumikan nilai saling, setara, dan bersama dalam pernikahan lewat cara yang menyenangkan.
Belakangan saya baru sadar, itu semacam praktik mubadalah versi bisa ditepukkan.
Sayangnya, seperti banyak hal di negeri ini, begitu niat baik bertemu birokrasi dan media sosial, hasilnya bisa berubah jadi tontonan yang agak sulit dibedakan antara edukasi dan variety show.
Pada tahun 2024, KUA Menteng mengemas ulang tepuk ini dengan aransemen lebih ceria, lengkap dengan irama yang bisa bikin Dinas Pariwisata iri.
Lalu pada 20 Desember 2024, video itu diunggah dan meledak.
Algoritma bekerja seperti biasa: ratusan ribu view, ribuan komentar, dan entah berapa video parodi.
Warganet ikut menepuk, bukan karena sakinah, tapi karena bingung harus tertawa atau prihatin.
Tepuk yang Salah Tempo
Niat awal Tepuk Sakinah sebenarnya baik. Di dalamnya ada lima pilar fundamental pernikahan Islam—semacam Pancasila, tapi versi rumah tangga.
Isinya Zawaj (berpasangan), Mitsaqan Ghalizan (janji kokoh), Mu’asyarah Bil Ma’ruf (saling berbuat baik), Musyawarah, dan Taradhin (saling ridho).
Saya justru penasaran kenapa tepuk ini berubah jadi bahan tertawaan publik, dari yang ngakak, ilfeel, sampai tepuk jidat.
Sampai akhirnya saya curiga.
Tepuk Sakinah jadi contoh bagaimana pemerintah sering kesulitan membaca zaman tanpa harus bilang kita sedang darurat baca pejabat.
Mungkin para pejabat memang belum sempat baca, soalnya sibuk mikirin tepukan baru.
Siapa tahu nanti ada Tepuk Anggaran, biar semangat kerja ikut bergema.
Menteri Agama, Nazaruddin Umar, tampak sangat yakin dengan Tepuk Sakinah. Katanya, ini bukan seremoni, tapi metode edukasi praktis untuk membentuk kesadaran calon pengantin. Bahkan diyakini bisa menekan angka perceraian.
Tahun 2024, tercatat 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Sebagian besar karena pertengkaran terus-menerus dan masalah ekonomi. Jawa Barat memimpin dengan 88.985 kasus.
Mungkin mereka belum sempat ditepuk. Atau mungkin, volume tepukannya belum cukup keras untuk mengguncang harga sembako dan cicilan.
Penelitian bilang, bimbingan pranikah memang bisa efektif kalau materinya relevan, waktunya cukup, dan pesertanya serius. Tapi kalau yang diingat cuma gerakan “tepuk sakinah, mawaddah, warahmah,” ya yang sakinah mungkin cuma panitianya.
Ketika Generasi Tepuk Bertemu Generasi Scroll
Fenomena Tepuk Sakinah memperlihatkan jurang kecil tapi lebar antara pengelola program (mayoritas Boomer dan Gen X) dan peserta (mayoritas Gen Z).
Buat generasi tua, tepuk tangan adalah bentuk kebersamaan. Dulu, mungkin semua hal memang disemangati dengan yel-yel, dari pramuka sampai upacara tujuhbelasan.
Tapi bagi Gen Z yang tumbuh di era scroll dan swipe, pola seperti ini terasa seperti nonton Video Home System di zaman video berdurasi 15 detik, menggemaskan sekaligus bikin heran.
Memang, Tepuk Sakinah cuma ice breaking buat mencairkan suasana. Tapi di lapangan, ada tekanan halus untuk “kompak”, karena di negeri ini keenggakkompakan bisa disalahartikan sebagai kurang sakinah.
Sementara data bilang penyebab utama perceraian tetap komunikasi dan ekonomi. Dua hal yang nggak bisa diberesin pakai jingle atau irama 4/4.
Rumah Tangga Nggak Bisa Ditepuk
Barangkali sebelum mengajarkan Tepuk Sakinah, pemerintah perlu bikin “Tepuk Realita” dulu.
Tepuk ekonomi. Biar kita sadar, gaji segitu mau dipakai makan, bayar sewa, atau ikut gaya hidup tetangga yang hobi staycation tapi nggak pernah kelihatan kerja.
Tepuk komunikasi. Karena yang sering bikin ribut bukan kurang cinta, tapi karena nada “iya” bisa berarti setuju, bisa juga bentuk pasif-agresif yang diwariskan turun-temurun.
Tepuk psikologi. Supaya calon pengantin ngerti, rumah tangga bukan sinetron religi. Nggak semua masalah selesai dengan doa (please, jangan anggap saya kurang iman), sebagian memang butuh terapi dan cicilan yang dibayar tepat waktu.
Seperti kata data BPS tadi, penyebab perceraian terbesar di Indonesia bukan karena kurang kompak saat yel-yel, tapi karena pertengkaran terus menerus (62,8%) dan masalah ekonomi (25%).
Artinya, kalau pun mau tepuk tangan, sebaiknya dilakukan berdua, setelah berhasil nggak debat gara-gara detergen habis.
Yang Belum Diajarkan di Tepuk Sakinah
Sebagai orang yang pernah gagal menikah dan nangis sambil meratapi hati yang patah, saya bukan anti inovasi dakwah.
Kreativitas dalam menyampaikan pesan agama tetap penting, apalagi di era generasi colokan yang cepat bosan.
Alih-alih fokus pada viral marketing KUA, mungkin lebih bijak kalau energi itu dipakai untuk memperkuat isi bimbingan pranikah: konseling psikologi, literasi finansial, teknik komunikasi, dan kesiapan mental menghadapi perubahan peran setelah ijab sah.
Karena hafalan “berpasangan, janji kokoh,” nggak banyak membantu saat realitas rumah tangga datang membawa tagihan, tekanan, dan campur tangan mertua yang muncul tanpa aba-aba.
Kompasianer Enny Ratnawati A bilang, Tepuk Sakinah bisa relevan, bisa nggak. Saya sepakat, meski dalam hidup, nggak semua yang serentak itu kompak.
Ada kalanya yang paling sakinah justru datang saat kita berhenti menepuk dan mulai mendengar.
Jadi, buat Kompasianer yang sudah terlanjur hafal liriknya, ingat gerakannya, santai aja.
Sambil tetap ingat, rumah tangga bukan hanya soal hafalan, tapi juga tentang dua orang yang masih mau tepuk jidat bareng tanpa saling menyalahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI