Sampai akhirnya saya curiga.
Tepuk Sakinah jadi contoh bagaimana pemerintah sering kesulitan membaca zaman tanpa harus bilang kita sedang darurat baca pejabat.
Mungkin para pejabat memang belum sempat baca, soalnya sibuk mikirin tepukan baru.
Siapa tahu nanti ada Tepuk Anggaran, biar semangat kerja ikut bergema.
Menteri Agama, Nazaruddin Umar, tampak sangat yakin dengan Tepuk Sakinah. Katanya, ini bukan seremoni, tapi metode edukasi praktis untuk membentuk kesadaran calon pengantin. Bahkan diyakini bisa menekan angka perceraian.
Tahun 2024, tercatat 399.921 kasus perceraian di Indonesia. Sebagian besar karena pertengkaran terus-menerus dan masalah ekonomi. Jawa Barat memimpin dengan 88.985 kasus.
Mungkin mereka belum sempat ditepuk. Atau mungkin, volume tepukannya belum cukup keras untuk mengguncang harga sembako dan cicilan.
Penelitian bilang, bimbingan pranikah memang bisa efektif kalau materinya relevan, waktunya cukup, dan pesertanya serius. Tapi kalau yang diingat cuma gerakan “tepuk sakinah, mawaddah, warahmah,” ya yang sakinah mungkin cuma panitianya.
Ketika Generasi Tepuk Bertemu Generasi Scroll
Fenomena Tepuk Sakinah memperlihatkan jurang kecil tapi lebar antara pengelola program (mayoritas Boomer dan Gen X) dan peserta (mayoritas Gen Z).
Buat generasi tua, tepuk tangan adalah bentuk kebersamaan. Dulu, mungkin semua hal memang disemangati dengan yel-yel, dari pramuka sampai upacara tujuhbelasan.