Begitu scroll lokapasar, lihat diskon cashback 90%, BOOM! dopamin langsung meledak. Kepuasan instan ini, singkatnya, adalah katarsis paling praktis abad ini.
Siapa butuh meditasi sepuluh menit kalau bisa checkout keranjang dalam sepuluh detik?
Marketing menyebutnya “event,” psikolog bilang “pemicu impulsif,” dan dompet menyebutnya “upacara pemakaman kecil-kecilan.”
Seperti kata Kompasianer cum guru, Atikah, “Jangan asal checkout hanya karena tipu daya sebuah diskon.” Sayangnya, kalimat itu sering jadi soundtrack tanggal kembar, karena kita memang sering merasa tertipu setelah nggak berdaya.
Promo tanggal kembar memadukan tiga ilmu penjualan: kelangkaan (timer berjalan, stok menipis), sorak-sorai kolektif (komentar live: “kak aku 3! kak aku 5!”—yang kemungkinan besar diketik staf magang toko itu sendiri, jam dua pagi, pakai tiga akun berbeda di lantai dua), dan FOMO akut, takut ketinggalan momen seolah barangnya bakal disertifikatkan pemerintah atau dibacakan saat upacara.
Dan entah kenapa, manusia zaman sekarang lebih takut kehilangan keranjang belanja daripada kehilangan akal sehat. “Stok tinggal 3 lagi,” katanya. Kalimat itu muncul di setiap barang, setiap bulan, setiap tahun. Kalau beneran tinggal tiga, seharusnya udah punah sejak 2023.
Manusia Modern dan Doom Spending
Belanja impulsif, atau yang belakangan dikasih nama keren Doom Spending, adalah mekanisme koping paling absurd yang pernah ditemukan manusia modern. Kita mengatasi stres ekonomi dengan cara menambah stres ekonomi itu sendiri.
Hidup lagi macet, kerjaan lagi numpuk, dompet udah sekarat, tapi tangan tetap gesit menekan tombol “beli sekarang.” Kita beli barang yang nggak dibutuhkan, dengan uang yang belum dimiliki. Paylater.
Ironi yang kita bungkus pakai kata “self reward.”
Kita merasa jenius karena berhasil klaim kupon gratis ongkir dan diskon 50%. Rasanya seperti berhasil menaklukkan sistem. Padahal, sistem yang menaklukkan kita.