Saudara saya sebangsa dan setanah air, meski tanah dan airnya entah sekarang milik siapa.Â
Khususnya para Kompasianer yang senantiasa update kabar negara ini lewat Kompasiana, media sosial atau lewat belanja.Â
Saya ini orangnya gampang panik. Sudah tanggal 7 Oktober, tiga hari lagi kita masuk 10.10: sepuluh kesenangan di awal, sepuluh penderitaan setelahnya.
Tanggal Kembar dan Kutukan yang Kita Rayakan
Fenomena tanggal kembar ini semacam kutukan di zaman modern. Semuanya bermula dari Singles’ Day (11.11) di Tiongkok tahun 2009—hari untuk merayakan kejomloan biar nggak merasa sendirian.
Tapi manusia, sebagaimana fitrahnya, memang sulit membedakan antara cinta dan diskon. Dari niat merayakan kesendirian, tiba-tiba berubah jadi festival belanja terbesar di dunia.Â
Ketika Diskon Jadi Agama Baru
Tradisi tanggal kembar ini pun menular ke banyak negara, termasuk kita tahun 2012, yang kini setiap bulan seperti punya hari suci baru: 1.1, 2.2, 3.3, 4.4, 5.5, 6.6, 7.7, 8.8, 9.9, dan sebentar lagi 10.10.
Setiap tanggal kembar, dompet ikut bergetar, jari-jari gatal, dan logika mendadak pensiun dini.Â
Lucunya, yang awalnya dibuat untuk menertawakan kesepian, sekarang justru bikin banyak orang berakhir sendirian—di akhir bulan, ditemani saldo yang bikin pingsan.
Membeli barang di tanggal kembar itu mirip ritual mencari antidepresan digital. Hidup lagi stres, kerjaan buntu, utang belum lunas, tetangga ribut, dan di media sosial orang-orang saling serang soal Sahara dan Yai Mim, padahal kita bahkan nggak kenal dua-duanya.Â