Kalau daftar utang saya ditulis di kertas, panjangnya bisa dipakai buat bendera raksasa hingga menutupi The Gade Tower di Jakarta Pusat.
Kalau dilipat jadi pesawat kertas, mungkin bisa nyangkut di gedung DPR dan bikin mereka heran, “loh, ternyata daftar utang rakyat bisa lebih panjang dari kuitansi tunjangan rumah kami sebulan.”
Angkanya bikin saya sesak napas, sekitar Rp50 juta. Konon setara dengan sebulan tunjangan rumah anggota DPR (detikNews, 2025).
Tragisnya, di tengah utang segunung itu, saya masih rajin “investasi” di asap dengan membeli rokok Rp70 ribu setiap dua hari. Kalau dihitung-hitung, biaya merokok saya bisa tembus lebih dari Rp1 juta per bulan.
Menurut data BPS, pengeluaran rumah tangga Indonesia untuk rokok ada di posisi dua, persis di bawah beras (detikFinance, 2025). Jadi, bisa dibilang nasi uduk pagi-pagi ditemani asap kretek sudah jadi duet maut khas nusantara. Saya juga ikut jadi pemain cadangan di orkestra asap itu, bedanya partitur saya lebih banyak hutang daripada nada.
Sehingga, kalau dipikir-pikir, saya lebih serius membangun kerajaan abu dan nikotin ketimbang membangun masa depan sendiri.
Tamparan di DM Instagram
Hingga suatu malam, pas saya nyalain rokok sambil meratapi nasib, sebuah direct message Instagram masuk. Rasanya kayak palu Thor jatuh langsung ke kepala saya.
Bunyinya keras, tulisannya jauh lebih keras lagi, kira-kira begini:
“Saya nggak peduli. Kamu nggak bisa bayar utang, itu salahmu sendiri! Saya akan sangsi kamu secara sosial kalau tahun ini utangmu nggak lunas.”
Kata-kata itu memang kejam, tapi di saat yang sama, ia juga jadi kaca yang memperlihatkan wajah saya yang compang-camping secara finansial. Pemasukan freelance writer saya kalau dirata-rata dua jutaan per bulan, sementara pengeluaran asap bisa tembus sejuta lebih.