Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Mahéng menulis di berbagai platform. Di Kompasiana, ia belajar menguleni isu-isu berat dengan adonan humor, kadang matang, sesekali gosong, adakalanya garing, dan nggak jarang absurd, persis seperti hidupnya sendiri. Intip X/IG @iamaheng.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Darurat Baca Pejabat, Kenapa Bibliosida Intelektual Bikin Visi Bangsa Start Over dari Nol?

29 September 2025   16:43 Diperbarui: 29 September 2025   20:54 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngobrolin buku tentang Gus Dur dan Romo Mangun yang banyak menghabiskan waktu dengan membaca. Sumber: dokumentasi bersama. 

Beberapa bulan lalu, saya dan Najma Alya Jasmine pernah diundang ke sebuah stasiun radio di Yogyakarta untuk ngobrolin buku kami, Mencari Indonesia: Menuai Kegelisahan Gus Dur & Romo Mangun.

Di sela-sela obrolan serius soal visi kenegaraan, Najma cerita waktu kecil ia pernah mengunyah sampul buku Biografi Gus Dur.  

Konyol, jelas. Namun dari kekonyolan itulah, pada usia sebelas tahun ia sudah menulis dua puluh tiga buku. Saya di umur segitu masih sibuk manjat rambutan tetangga, jatuh ke got, terus galau karena cinta monyet ditolak sepihak. 

Najma, kiwari, selain terus menulis puluhan buku, ia menjaga warisan Gus Dur lewat Jaringan GUSDURian. 

Rasanya ini bukan kebetulan. Gus Dur sendiri, menurut buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, sudah larut dalam sastra sejak usia sepuluh tahun. 

Dari situlah lahir empati yang kemudian menjiwai kebijakannya. Dari membaca sastra lahir empati, dari empati lahir kebijakan yang memanusiakan manusia. 

Sebab itu, ketika seorang anak kecil mengunyah sampul buku bisa menulis karya, dan jika sastra mampu melahirkan kebijakan yang memanusiakan manusia, maka patut kita tanya: apa yang sesungguhnya dikunyah pejabat kita hingga kebijakan mereka sering terdengar sebagai jargon tanpa makna?

Konsekuensi Functional Illiteracy 

Dalam esai berjudul Dear Politicians, Reading Must Be Given Top Priority, Henk Pröpper mengingatkan bahwa penurunan minat membaca dan meningkatnya buta fungsi baca (functional illiteracy) punya konsekuensi bukan hanya budaya, tapi juga ekonomi dan politik.  

Menurut Pröpper, ini bukan masalah sepele. Negara yang mengabaikan budaya membaca lama kelamaan akan melemah dalam merumuskan kebijakan yang manusiawi dan berjangka panjang. 

Sebelum sibuk membangun gedung atau memahat monumen, prioritasnya harus membaca. 

Masalahnya, di Indonesia, pejabat kita lebih rajin “baca peluang proyek” ketimbang baca buku.  Pejabat yang nggak dekat dengan bacaan cenderung melahirkan kebijakan reaktif, tambal sulam, pendek napas.

Akibatnya kita sudah bisa tebak, ganti presiden ganti kebijakan. Nggak ada end in mind, kalau kata Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People.

Setiap rezim muncul dengan "megaproyek" barunya, yang seringkali cuma jadi "ego" politik semata.

Dari zaman Soekarno dengan Monasnya yang menjulang, Soeharto dengan obsesi "nasisasi"—pemaksaan makan nasi. SBY dengan MP3EI, dan Jokowi dengan IKN-nya.

Setiap rezim baru seperti orang habis putus cinta: janji manis di awal, patah hati di tengah, lalu sibuk menghapus jejak mantan (rezim sebelumnya), dan mulai dari nol lagi.

Contoh paling segar adalah proyek Makan Bergizi Gratis (MBG). Uji coba malah menelan ribuan korban keracunan, tapi proyeknya tetap jalan.

Kenapa? Karena ego politik sering lebih mahal daripada nyawa manusia. Di sisi lain, MBG ini kayak déjà vu Orde Baru: gagal paham keragaman pangan, tapi kekeuh bikin kebijakan.

Darurat Intelektual di Meja Kerja 

Kompasianer Della Theresia mengingatkan bahwa kualitas kebijakan publik bergantung pada kedalaman pengetahuan pembuatnya, jadi kalau bahan bacanya setipis selebaran, jangan heran kalau kebijakan juga cuma setipis itu. 

Pun Kompasianer Diannisa Latifah menegaskan ironi mendasar: kalau pejabat susah menamatkan satu buku, bagaimana mereka mau menata negara yang sekompleks ribuan bab, ribuan pulau, dan ribuan masalah?

Tepat seperti kata Pröpper dan Theresia tadi, menurunnya tradisi membaca pejabat berbanding lurus dengan turunnya kualitas produk politik kita.

Pidato makin ringkas. Argumen makin tipis. Retorika makin hancur. Diskusi publik didominasi gimmick ketimbang gagasan.

Kenapa kita sekarang jarang mendengar pidato kenegaraan yang substansial, yang mengutip pemikir besar, yang membangun narasi filosofis tentang masa depan, alih-alih sekadar pamer angka proyek?

Jawabannya: Bibliosida Intelektual (kematian buku di meja kerja pejabat), atau kalau mau lebih lugas, darurat baca pejabat.

Indonesia Dibangun oleh Pembaca

Kita butuh pejabat yang mampu berdiskusi dengan Tan Malaka, Sartre, Camus, Hatta, dan Gus Dur di dalam kepalanya, bukan pejabat clueless yang cuma bisa berdiskusi dengan dirinya sendiri di depan cermin.  

Padahal, para pendiri bangsa justru lahir dari kedekatan dengan buku. Sujiwo Tejo pernah berandai-andai, kalau rumah Bung Hatta dan Gus Dur dijarah, pencuri nggak akan nemu apa-apa selain buku. 

Bung Hatta bahkan bilang, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena dengan buku, aku bebas." 

Sejarawan J.J. Rizal sampai berkelakar, kedekatan pendiri bangsa ini dengan buku seperti gigi dengan gusi: dekat sekali. 

Hasilnya Indonesia menjadi negara satu-satunya yang memperoleh kemerdekaan dengan direbut bukan diberikan. Dan itu nggak mungkin terjadi tanpa membaca.

Jadi, selama buku nggak jadi kebutuhan utama para pejabat (dan juga kita semua), negara ini akan terus jatuh di lubang yang sama.

Di situlah kontrasnya. Kalau Najma kecil bisa menulis setelah mengunyah sampul buku, pejabat kita justru sibuk mengunyah janji kampanye mereka sendiri.

Padahal bangsa ini pernah dibangun oleh orang-orang yang membaca. Kini ia dijalankan oleh orang-orang yang lihai bersilat lidah sekaligus berbisa.

 Mahéng 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun