Sebelum sibuk membangun gedung atau memahat monumen, prioritasnya harus membaca.
Masalahnya, di Indonesia, pejabat kita lebih rajin “baca peluang proyek” ketimbang baca buku. Pejabat yang nggak dekat dengan bacaan cenderung melahirkan kebijakan reaktif, tambal sulam, pendek napas.
Akibatnya kita sudah bisa tebak, ganti presiden ganti kebijakan. Nggak ada end in mind, kalau kata Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People.
Setiap rezim muncul dengan "megaproyek" barunya, yang seringkali cuma jadi "ego" politik semata.
Dari zaman Soekarno dengan Monasnya yang menjulang, Soeharto dengan obsesi "nasisasi"—pemaksaan makan nasi. SBY dengan MP3EI, dan Jokowi dengan IKN-nya.
Setiap rezim baru seperti orang habis putus cinta: janji manis di awal, patah hati di tengah, lalu sibuk menghapus jejak mantan (rezim sebelumnya), dan mulai dari nol lagi.
Contoh paling segar adalah proyek Makan Bergizi Gratis (MBG). Uji coba malah menelan ribuan korban keracunan, tapi proyeknya tetap jalan.
Kenapa? Karena ego politik sering lebih mahal daripada nyawa manusia. Di sisi lain, MBG ini kayak déjà vu Orde Baru: gagal paham keragaman pangan, tapi kekeuh bikin kebijakan.
Darurat Intelektual di Meja Kerja
Kompasianer Della Theresia mengingatkan bahwa kualitas kebijakan publik bergantung pada kedalaman pengetahuan pembuatnya, jadi kalau bahan bacanya setipis selebaran, jangan heran kalau kebijakan juga cuma setipis itu.
Pun Kompasianer Diannisa Latifah menegaskan ironi mendasar: kalau pejabat susah menamatkan satu buku, bagaimana mereka mau menata negara yang sekompleks ribuan bab, ribuan pulau, dan ribuan masalah?