Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Mahéng menulis di berbagai platform. Di Kompasiana, ia belajar menguleni isu-isu berat dengan adonan humor, kadang matang, sesekali gosong, adakalanya garing, dan nggak jarang absurd, persis seperti hidupnya sendiri. Intip X/IG @iamaheng.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Darurat Baca Pejabat, Kenapa Bibliosida Intelektual Bikin Visi Bangsa Start Over dari Nol?

29 September 2025   16:43 Diperbarui: 29 September 2025   20:54 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ngobrolin buku tentang Gus Dur dan Romo Mangun yang banyak menghabiskan waktu dengan membaca. Sumber: dokumentasi bersama. 

Sebelum sibuk membangun gedung atau memahat monumen, prioritasnya harus membaca. 

Masalahnya, di Indonesia, pejabat kita lebih rajin “baca peluang proyek” ketimbang baca buku.  Pejabat yang nggak dekat dengan bacaan cenderung melahirkan kebijakan reaktif, tambal sulam, pendek napas.

Akibatnya kita sudah bisa tebak, ganti presiden ganti kebijakan. Nggak ada end in mind, kalau kata Stephen Covey dalam The 7 Habits of Highly Effective People.

Setiap rezim muncul dengan "megaproyek" barunya, yang seringkali cuma jadi "ego" politik semata.

Dari zaman Soekarno dengan Monasnya yang menjulang, Soeharto dengan obsesi "nasisasi"—pemaksaan makan nasi. SBY dengan MP3EI, dan Jokowi dengan IKN-nya.

Setiap rezim baru seperti orang habis putus cinta: janji manis di awal, patah hati di tengah, lalu sibuk menghapus jejak mantan (rezim sebelumnya), dan mulai dari nol lagi.

Contoh paling segar adalah proyek Makan Bergizi Gratis (MBG). Uji coba malah menelan ribuan korban keracunan, tapi proyeknya tetap jalan.

Kenapa? Karena ego politik sering lebih mahal daripada nyawa manusia. Di sisi lain, MBG ini kayak déjà vu Orde Baru: gagal paham keragaman pangan, tapi kekeuh bikin kebijakan.

Darurat Intelektual di Meja Kerja 

Kompasianer Della Theresia mengingatkan bahwa kualitas kebijakan publik bergantung pada kedalaman pengetahuan pembuatnya, jadi kalau bahan bacanya setipis selebaran, jangan heran kalau kebijakan juga cuma setipis itu. 

Pun Kompasianer Diannisa Latifah menegaskan ironi mendasar: kalau pejabat susah menamatkan satu buku, bagaimana mereka mau menata negara yang sekompleks ribuan bab, ribuan pulau, dan ribuan masalah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun