Tepat seperti kata Pröpper dan Theresia tadi, menurunnya tradisi membaca pejabat berbanding lurus dengan turunnya kualitas produk politik kita.
Pidato makin ringkas. Argumen makin tipis. Retorika makin hancur. Diskusi publik didominasi gimmick ketimbang gagasan.
Kenapa kita sekarang jarang mendengar pidato kenegaraan yang substansial, yang mengutip pemikir besar, yang membangun narasi filosofis tentang masa depan, alih-alih sekadar pamer angka proyek?
Jawabannya: Bibliosida Intelektual (kematian buku di meja kerja pejabat), atau kalau mau lebih lugas, darurat baca pejabat.
Indonesia Dibangun oleh Pembaca
Kita butuh pejabat yang mampu berdiskusi dengan Tan Malaka, Sartre, Camus, Hatta, dan Gus Dur di dalam kepalanya, bukan pejabat clueless yang cuma bisa berdiskusi dengan dirinya sendiri di depan cermin. Â
Padahal, para pendiri bangsa justru lahir dari kedekatan dengan buku. Sujiwo Tejo pernah berandai-andai, kalau rumah Bung Hatta dan Gus Dur dijarah, pencuri nggak akan nemu apa-apa selain buku.Â
Bung Hatta bahkan bilang, "Aku rela dipenjara asalkan bersama buku. Karena dengan buku, aku bebas."Â
Sejarawan J.J. Rizal sampai berkelakar, kedekatan pendiri bangsa ini dengan buku seperti gigi dengan gusi: dekat sekali.Â
Hasilnya Indonesia menjadi negara satu-satunya yang memperoleh kemerdekaan dengan direbut bukan diberikan. Dan itu nggak mungkin terjadi tanpa membaca.
Jadi, selama buku nggak jadi kebutuhan utama para pejabat (dan juga kita semua), negara ini akan terus jatuh di lubang yang sama.