Beberapa bulan lalu, saya dan Najma Alya Jasmine pernah diundang ke sebuah stasiun radio di Yogyakarta untuk ngobrolin buku kami, Mencari Indonesia: Menuai Kegelisahan Gus Dur & Romo Mangun.
Di sela-sela obrolan serius soal visi kenegaraan, Najma cerita waktu kecil ia pernah mengunyah sampul buku Biografi Gus Dur. Â
Konyol, jelas. Namun dari kekonyolan itulah, pada usia sebelas tahun ia sudah menulis dua puluh tiga buku. Saya di umur segitu masih sibuk manjat rambutan tetangga, jatuh ke got, terus galau karena cinta monyet ditolak sepihak.Â
Najma, kiwari, selain terus menulis puluhan buku, ia menjaga warisan Gus Dur lewat Jaringan GUSDURian.Â
Rasanya ini bukan kebetulan. Gus Dur sendiri, menurut buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, sudah larut dalam sastra sejak usia sepuluh tahun.Â
Dari situlah lahir empati yang kemudian menjiwai kebijakannya. Dari membaca sastra lahir empati, dari empati lahir kebijakan yang memanusiakan manusia.Â
Sebab itu, ketika seorang anak kecil mengunyah sampul buku bisa menulis karya, dan jika sastra mampu melahirkan kebijakan yang memanusiakan manusia, maka patut kita tanya: apa yang sesungguhnya dikunyah pejabat kita hingga kebijakan mereka sering terdengar sebagai jargon tanpa makna?
Konsekuensi Functional IlliteracyÂ
Dalam esai berjudul Dear Politicians, Reading Must Be Given Top Priority, Henk Pröpper mengingatkan bahwa penurunan minat membaca dan meningkatnya buta fungsi baca (functional illiteracy) punya konsekuensi bukan hanya budaya, tapi juga ekonomi dan politik. Â
Menurut Pröpper, ini bukan masalah sepele. Negara yang mengabaikan budaya membaca lama kelamaan akan melemah dalam merumuskan kebijakan yang manusiawi dan berjangka panjang.Â