Ulfaizah, dalam risetnya Manajemen Koleksi Deposit di Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Bone, menjelaskan bahwa banyak perpustakaan daerah di Indonesia menghadapi masalah serupa: kurangnya pengelola perpustakaan yang benar-benar mengerti tugasnya, anggaran yang cekak, dan kebijakan manajemen koleksi yang nggak jelas.
Akibatnya, perpustakaan gagal menjalankan fungsi paling dasarnya: menyediakan akses informasi yang terorganisir.
Ia menjadi sebuah gudang tempat buku-buku disimpan hingga bapuk, bukan pusat ilmu yang hidup.
Ketika saya menemukan buku yang dicari di ruang referensi lantai lain, muncul drama baru: buku itu nggak bisa dipinjam, cuma boleh difoto-foto.
Saya jadi bingung, perpustakaan ini tempat penitipan buku atau museum yang isinya boleh dilihat tapi nggak bisa dibawa pulang untuk diresapi?
Visi Heroik dan Ironi Lapangan
Saya ngobrol dengan satu siswa dari SMP IT Insan Mulia. Dia bilang mereka ke perpustakaan cuma setahun sekali, itu pun karena ada program outing class.
Di sisi lain, DKPD Kabupaten Ketapang punya visi mulia, salah satunya meningkatkan pelayanan akses informasi kearsipan dan perpustakaan kepada masyarakat.
Terdengar heroik, seperti tulisan motivasi di botol minum yang katanya bisa bikin sehat, padahal komposisi utamanya gula.
Rak berantakan, buku nyasar, dan siswa cuma datang setahun sekali.
Di tahap ini, saya baru ngerti apa yang dimaksud teman saya, “Emang ada perpustakaan di Ketapang?”—yang tadi saya anggap angin lalu.