Setelah capek menyisir aisle sempit yang lebih mirip gudang, saya mendekati seorang petugas dengan senyum paling optimis yang bisa saya kerahkan.
“Permisi, Kak. Ada buku tentang konservasi atau karhutla atau tentang Ketapang, nggak?”
Jawabannya adalah mahakarya surealisme birokrasi: “Kurang tau, Bang. Cari aja, ada kali di sana, bercampur.”
Saya terdiam sejenak, memproses kata itu. ‘Bercampur.’ Kata itu bergema di kepala saya seraya membatin, ini perpustakaan atau pasar loak?
Bagaimana mungkin ia nggak tahu isi dapurnya sendiri?
Bayangkan kamu bertanya pada pemilik warung, “Kak, ada jual Cincalok (makanan fermentasi khas Kalimantan Barat yang terbuat dari udang rebon kecil, garam, dan gula) nggak?” lalu ia menjawab, “Kurang tau, Bang, coba cari aja di antara tumpukan lauk, kali aja nyelip.”
Ketika Rak Buku Lebih Berantakan dari Lini Masa Media Sosial
Situasi di dalam ruang buku perpustakaan, saya rasa, buku-buku disusun berantakan, nggak sesuai subjek, bahkan banyak yang nggak ada di rak seharusnya.
Mirip lini masa media sosial yang isinya campur aduk: dari politik, resep masakan, sampai quotes galau.
Menyusuri rak demi rak, saya merasa seperti arkeolog yang menjelajahi peradaban runtuh. Tapi masih dihuni.
Kondisi ini, sayangnya, nggak hanya terjadi di Ketapang.