Mohon tunggu...
Mahéng
Mahéng Mohon Tunggu... Author

Mahéng menulis di berbagai platform. Di Kompasiana, ia belajar menguleni isu-isu berat dengan adonan humor, kadang matang, sesekali gosong, adakalanya garing, dan nggak jarang absurd, persis seperti hidupnya sendiri. Intip X/IG @iamaheng.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kisah Pilu Jobseeker: Syarat Makin Absurd, Harapan Makin Tipis, tapi Tetap Nggak Mau Nyerah

10 Mei 2025   16:54 Diperbarui: 11 Mei 2025   13:18 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dilema pengangguran. Foto: Tim Gouw via Pexels 

Indonesia katanya bonus demografi. Tapi kadang rasanya bonus ini nggak tahu mau diapain. Terlalu muda untuk pensiun, terlalu berpengalaman untuk kerja magang, tapi selalu kurang satu syarat buat dapat kerja.

Dulu banget, cita-cita saya mulia: jadi orang sukses.

Seperti sukses yang dipromosikan di media sosial. Kerja sesuai passion, nggak lihat harga pas belanja, bisa bawa orang tua umrah, dan pas diunggah ke Instagram takarirnya bijak, bukan galau.

Menginspirasi. Aestetik. Penuh semangat self-love.

Tapi realita datang secepat iklan pinjol. IPK saya lumayan, organisasi segunung, portofolio oke. Saya pikir tinggal tunggu waktu dipanggil kerja, lalu hidup bahagia selamanya dengan gaji UMR plus plus.

Nyatanya, saya justru ikut program hibernasi nasional: pengangguran tanpa subsidi. Dan ternyata saya tidak sendirian.

Ada yang bahkan lebih “hebat”. Aktif jadi admin grup Facebook info loker Jogja, tiap hari share lowongan kerja buat orang lain, padahal admin sendiri belum pernah dipanggil wawancara.

Dedikasi tanpa pamrih yang bikin terharu dan pengin ngajak pelukan.

Syarat Kerja: Umur Muda, Pengalaman Tua, Gaji Nggak Seberapa 

Mungkin cuma di Indonesia lowongan kerja bisa lebih absurd dari naskah drama China di Facebook.

Syaratnya seabrek kayak transkrip nilai kuliah yang IPK-nya pas-pasan, isinya bikin dahi berkerut. Minta umur maksimal 25 tahun, tapi pengalamannya kudu minimal 3 tahun.

Lah, kalau kuliah kelar umur 22, itu artinya kita mesti udah nyambi kerja sambil skripsian dari zaman batu. Belum lagi kalau sempat jadi ketua BEM atau buka usaha sampingan biar CV-nya cetar membahana.

Belum kelar sampai situ dramanya. Ada lagi jurus pamungkas "berpenampilan menarik", padahal yang dicari admin gudang. Emang ngitungin stok barang di gudang perlu pose anggun sambil catwalk?

Pernah kebayang nggak, ada lowongan entry level yang nyebutin tinggi badan proporsional? Ini mah kayak nyari model buat majalah logistik. Terus, jangan kaget juga kalau nemu yang nyantumin "tidak sedang kuliah", "belum menikah", dan yang paling juara: "bersedia kerja di bawah tekanan".

Ini mah bukan nyari karyawan, tapi kayak lagi audisi anggota Avengers yang siap lembur tanpa dibayar.

Buat kita-kita yang baru lulus dan masih polos soal dunia kerja, ngeliatin lowongan tuh udah kayak baca ramalan bintang. Banyak janji manis, tapi pas dijalanin... zonk.

Kerja Itu Sama, Gaji Beda, Stresnya Berlipat Ganda  

Konon katanya, di negeri antah berantah, semua jenis pekerjaan itu setara. Tukang sapu dan CEO katanya sama-sama dihormati, sama-sama dianggap berkontribusi.

Tapi itu kata teman saya yang sudah keburu frustrasi dengan kenyataan lowongan kerja "superhero" di Indonesia, sampai pindah benua.

Di sini? Dunia kerja bertingkat-tingkat seperti piramida Firaun, tapi isinya bukan mumi, melainkan kasta sosial dan prasangka purba. Tukang sampah dan direktur sama-sama berkeringat, tapi coba suruh mereka foto bareng.

Di Eropa mungkin jadi simbol egaliter. Di sini? Bisa jadi pak CEO auto panik mengecek dompet, khawatir dikira perusahaannya sedang krisis.

Lebih lucu lagi, makin rendah posisi seseorang di struktur pekerjaan, makin berat pula bebannya. Petugas kebersihan bangun bahkan sebelum ayam sadar kalau mereka itu ayam.

Kuli bangunan naik turun tangga bawa semen tanpa lift. Tapi yang duduk di ruang ber-AC cukup bilang “kita harus agile” sambil ngeteh, lalu pulang naik mobil dinas.

Kurikulum Nabi Musa, Pasar Kerja Elon Musk  

Dulu waktu kuliah, kita menggenggam satu keyakinan: ijazah adalah karcis emas menuju masa depan gemilang, bahkan bisa lebih riang saat bertemu calon mertua.

Tapi rupanya, dunia kerja zaman sekarang lebih mengutamakan tiket digital yang bisa langsung dipindai. Serba praktis, instan, dan terhubung otomatis ke KPI.

Ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah? Kadang terasa seperti artefak sejarah.

Anak akuntansi belajar teori dari zaman Luca Pacioli, padahal dunia sudah pindah ke era Prabowo dan anaknya Pak Jokowi. Yang dicari sekarang bukan hafal rumus, tapi bisa pakai software keuangan yang auto-rapi, auto-lapor, auto-transfer, dan sayangnya... auto-matikan peluang kerja manusia.

Saya pernah dengar curhat seorang pengusaha yang begitu jujur hingga nusuk. Kira-kira begini katanya, “Rekrut akuntan itu bikin pusing. Gaji kecil ngeluh, tekanan besar burnout. Mendingan langganan aplikasi akuntansi. Bayar lima ratus ribu sebulan, nggak pernah izin, nggak pernah baper.”

Menyedihkan? Memang. Realistis? Sayangnya, iya.

Masalahnya bukan cuma di sana. Banyak kampus yang sibuk ngejar akreditasi, tapi lupa dunia kerja udah ngebut di jalur tol. Kita diajarin teori setumpuk, tapi begitu lulus, disuruh tahu cara bikin dashboard di Excel, coding HTML, dan ngedit konten Instagram. Lho, kapan diajarnya?

Saya nggak sepenuhnya setuju kampus dijadikan pabrik pencetak tenaga kerja. Tapi faktanya, kurikulum kita memang mengarah ke sana. 

Masalahnya, cetakannya sering kali belum matang—jangankan siap kerja, menghadapi realita di lokasi KKN saja masih banyak yang kelabakan.

Tapi begitulah keadaannya. 

Dunia kerja di Indonesia nggak terlalu peduli kamu lulusan mana. Memang ada satu dua yang memfilter dari kampus tertentu, tapi umumnya, selama kamu bisa kerja cepat, punya skill, dan nggak banyak rewel, kamu kemungkinan besar akan diterima.

Apalagi kalau ada orang dalamnya.

Solusi Seadanya, Asal Kewarasan Tetap Terjaga 

Saya pun sekarang lagi nganggur. Maksudnya, belum kerja sesuai kriteria HRD-nya calon mertua. Untungnya, calon mertua juga belum ada. 

Belum ada gaji tetap, bonus akhir tahun, dan jabatan yang bisa dipamerin pas kumpul keluarga. Tapi ya sudahlah, saya juga nggak minat nebeng orang dalam cuma buat dapet kursi di kantor yang AC-nya dingin tapi jam pulangnya absurd.

Beberapa hari lalu, teman saya minta dicarikan pekerjaan. Saya kasih, dia gelagapan. Bukan karena nggak mampu, tapi kadang kita memang perlu waktu buat nyesuaiin diri sama ritme baru.

Kalau mau jujur, kita sering banget meletakkan nilai diri pada alat tukar. Uang atau barang. Jadi ketika kehilangan pekerjaan, rasanya kita kayak kehilangan segalanya.

Padahal, seharusnya yang kita punya bukan cuma jabatan dan slip gaji. Tapi karya, keterampilan, dan cara berpikir yang nggak gampang digantikan mesin.

Waktu saya bikin sebuah acara, ada seorang pengunjung yang nyeletuk, “Hebat ya bapak itu, walaupun sudah meninggal, masih bisa ngasih nafkah buat anaknya.” Yang dia maksud bukan bapaknya sendiri, tapi tokoh besar yang karyanya masih hidup dan menghasilkan.

Di situ saya sadar. Itu hebatnya karya.

Makanya saya tetap menulis di Kompasiana ini. Nggak peduli dibayar atau nggak, saya tetap memilih untuk berkarya lewat tulisan. Karena saya percaya, itu cara saya untuk tetap bernilai, bahkan di tengah kekacauan pasar kerja.

Di tengah himpitan persaingan dan lowongan kerja yang absurd, kita perlu cari celah untuk bertahan. Jangan biarkan skill yang udah kita punya berkarat. Justru inilah saatnya mempertajamnya atau bahkan belajar hal baru dari platform online.

Bangun pagi, olahraga, dan tetap ngobrol sama orang lain itu penting. Bukan buat jadi influencer kebugaran, tapi biar kepala nggak kusut sendirian. Siapkan juga rencana alternatif. Kerja freelance, bantu proyek teman, atau bikin usaha kecil-kecilan.

Saya tahu tulisan ini nggak akan menyulap sistem kerja jadi adil dalam semalam. Tapi dengan menulis ini, saya pengin kita ingat bahwa kita nggak sendirian. Mungkin dari sini, kita bisa mulai ubah realita. Pelan-pelan, asal jalan.

Karena yang kita butuhkan bukan cuma kerja, tapi juga ruang hidup. Dan itu lebih bervalue dari gaji UMR setelah kerja bagai kuda sampai lupa orang tua.

Mahéng

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun