Masalahnya, cetakannya sering kali belum matang—jangankan siap kerja, menghadapi realita di lokasi KKN saja masih banyak yang kelabakan.
Tapi begitulah keadaannya.
Dunia kerja di Indonesia nggak terlalu peduli kamu lulusan mana. Memang ada satu dua yang memfilter dari kampus tertentu, tapi umumnya, selama kamu bisa kerja cepat, punya skill, dan nggak banyak rewel, kamu kemungkinan besar akan diterima.
Apalagi kalau ada orang dalamnya.
Solusi Seadanya, Asal Kewarasan Tetap Terjaga
Saya pun sekarang lagi nganggur. Maksudnya, belum kerja sesuai kriteria HRD-nya calon mertua. Untungnya, calon mertua juga belum ada.
Belum ada gaji tetap, bonus akhir tahun, dan jabatan yang bisa dipamerin pas kumpul keluarga. Tapi ya sudahlah, saya juga nggak minat nebeng orang dalam cuma buat dapet kursi di kantor yang AC-nya dingin tapi jam pulangnya absurd.
Beberapa hari lalu, teman saya minta dicarikan pekerjaan. Saya kasih, dia gelagapan. Bukan karena nggak mampu, tapi kadang kita memang perlu waktu buat nyesuaiin diri sama ritme baru.
Kalau mau jujur, kita sering banget meletakkan nilai diri pada alat tukar. Uang atau barang. Jadi ketika kehilangan pekerjaan, rasanya kita kayak kehilangan segalanya.
Padahal, seharusnya yang kita punya bukan cuma jabatan dan slip gaji. Tapi karya, keterampilan, dan cara berpikir yang nggak gampang digantikan mesin.
Waktu saya bikin sebuah acara, ada seorang pengunjung yang nyeletuk, “Hebat ya bapak itu, walaupun sudah meninggal, masih bisa ngasih nafkah buat anaknya.” Yang dia maksud bukan bapaknya sendiri, tapi tokoh besar yang karyanya masih hidup dan menghasilkan.