Lebih lucu lagi, makin rendah posisi seseorang di struktur pekerjaan, makin berat pula bebannya. Petugas kebersihan bangun bahkan sebelum ayam sadar kalau mereka itu ayam.
Kuli bangunan naik turun tangga bawa semen tanpa lift. Tapi yang duduk di ruang ber-AC cukup bilang “kita harus agile” sambil ngeteh, lalu pulang naik mobil dinas.
Kurikulum Nabi Musa, Pasar Kerja Elon Musk
Dulu waktu kuliah, kita menggenggam satu keyakinan: ijazah adalah karcis emas menuju masa depan gemilang, bahkan bisa lebih riang saat bertemu calon mertua.
Tapi rupanya, dunia kerja zaman sekarang lebih mengutamakan tiket digital yang bisa langsung dipindai. Serba praktis, instan, dan terhubung otomatis ke KPI.
Ilmu yang kita pelajari di bangku kuliah? Kadang terasa seperti artefak sejarah.
Anak akuntansi belajar teori dari zaman Luca Pacioli, padahal dunia sudah pindah ke era Prabowo dan anaknya Pak Jokowi. Yang dicari sekarang bukan hafal rumus, tapi bisa pakai software keuangan yang auto-rapi, auto-lapor, auto-transfer, dan sayangnya... auto-matikan peluang kerja manusia.
Saya pernah dengar curhat seorang pengusaha yang begitu jujur hingga nusuk. Kira-kira begini katanya, “Rekrut akuntan itu bikin pusing. Gaji kecil ngeluh, tekanan besar burnout. Mendingan langganan aplikasi akuntansi. Bayar lima ratus ribu sebulan, nggak pernah izin, nggak pernah baper.”
Menyedihkan? Memang. Realistis? Sayangnya, iya.
Masalahnya bukan cuma di sana. Banyak kampus yang sibuk ngejar akreditasi, tapi lupa dunia kerja udah ngebut di jalur tol. Kita diajarin teori setumpuk, tapi begitu lulus, disuruh tahu cara bikin dashboard di Excel, coding HTML, dan ngedit konten Instagram. Lho, kapan diajarnya?
Saya nggak sepenuhnya setuju kampus dijadikan pabrik pencetak tenaga kerja. Tapi faktanya, kurikulum kita memang mengarah ke sana.