Lebaran tahun ini, saya tidak mudik. Satu-satunya alasan yang bisa saya pakai adalah harga tiket yang setara dengan UMR Jogja—atau mungkin malah lebih mahal. Akhirnya saya memilih untuk ‘menjaga kantor.’ Terdengar heroik, mungkin. Tapi nyatanya, lebih mirip satpam berbekal laptop.
Saya bersyukur, karena di sela-sela itu saya bisa menyelesaikan novel saya, bab demi bab. Gedung kantor sepi. Chat grup ramai, tapi saya pilih diam.
Chat dari keluarga besar pun saya abaikan. Pertanyaan-pertanyaan tahunan kembali muncul seperti templat yang tak pernah diperbarui: “Kapan menikah?” “Jadi pulang?” “Kenapa nggak ke rumah?” Sementara itu, notifikasi dari lokapasar dan diskon Lebaran terus saja menggoda.
Saya mengira akan menikmati kesunyian, menulis dengan tenang. Sampai akhirnya, seorang teman asli Jogja menelpon, mengajak saya berkunjung ke rumah seorang senior komunitas. Saya lumayan kenal, meski belum bisa dibilang akrab. Saya diam sebentar, menimbang.
Lalu saya mengiyakan—mungkin saya memang butuh social energy, seteguk saja.
Malam itu kami bergegas ke rumah senior yang megah. Disambut hangat, seperti biasa. Sisa-sisa makanan khas Lebaran masih berjejer di sudut ruangan. Saya duduk, mencoba mencair, berusaha menjadi bagian dari percakapan.
Tapi seperti biasa, obrolan halalbihalal sering kali berbelok arah. Dari roasting ringan terhadap beberapa teman, hingga menyentuh hal-hal yang diam-diam ingin saya simpan sendiri: privasi.
Saya sering merasa keinginan untuk menjaga ruang pribadi dianggap sebagai sikap individualis. Padahal bagi saya, itu cuma cara untuk tetap waras dan utuh di tengah keramaian.
Malam itu, sang senior bercerita mengapa ia jarang pulang ke kampung halaman. Katanya, setiap kali mudik, ia merasa tak punya ruang tersisa untuk dirinya sendiri.
Pernah suatu pagi, baru keluar kamar, ia mendapati seseorang yang tak ia kenal sedang makan di dapur. Ternyata, rumah besar keluarganya punya banyak pintu yang saling terhubung, bisa diakses dari berbagai sisi.